Assalamualaikum

3 PESAN RASULULLAH SAW

Published by ridokurnianto under on 18.57
Di dalam hadis riwayat Baihaqy, Malaikat Jibril as., menyampaikan pesan Allah SWT tentang beberapa kunci mensikapi hidup di dunia kepada Rasulullah SAW agar diteruskan kepada seluruh ummat Rasulullah SAW (termasuk kita sekalian):
Malaikat Jibril AS mendatangiku seraya berkata: “Wahai Muhammad! “Hiduplah kamu (di dunia ini) sehendakmu, tetapi ingat bahwa kamu akan mati; cintailah apa yang kamu sukai, tetapi ingat bahwa kamu akan meninggalkannya, dan berbuatlah sesukamu, tetapi ingat bahwa kamu akan mendapatkan balasan dari apa yang telah kamu perbuat..”

Pesan pertama, (“’isy ma syi’ta fainnaka mayyitun); “Hiduplah kamu sesukamu, tetpai ingat bahwa kamu akan mati”, mengandung pesan kunci bahwa kematian merupakan kata kunci dan tolak ukur kaum Muslim dalam mensikapi hidupnya. Kematian merupakan rambu-rambu kita dalam memanfaatkan seluruh umur kita di kehidupan dunia ini. Allah SWT menciptakan manungsa lengkap dengan sarana hidup yang dinamakan “keduniaan” ; sifat dunia adalah “mata al-ghurur” (kesenangan yang menipu). Tipu dayanya cukup halus dan memukau, hingga sering manusia dibuatnya terlena karenanya. Dalam perspektif ini, dunia bagaikan jaring laba-laba yang setiap saat menjerat siapapun yang melewatinya. Faktanya, berapa banyak manusia yang berhasil dijadikan tawanan oleh dunia; asyik-maksyuk di dalamnya hingga mengabaikan tugasnya menghamba kepada Allah SWT.

Di dalam banyak tempat (ayat) Al-Qur’an meningatkan kita agar “berlomba-lomba” mengerjakan amal shalih, dengan tujuan utama mengingatkan kita agar hidup kita tidak sia-sia: Di dalam QS. al-Baqarah: 148 Allah berfirman:
“Maka berlomba-lombalah kalian dalam mengerjakan amal shalih. Di tempat manapun kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkanmu (di hari kiamat)”
Orang mukmin akan menyambut firman Allah tersebut dengan bersegera, karena mereka sadar bahwa akan kembali menghadap Allah SWT. Ciri utama seorang mukmin adalah; senantiasa semangat dan rajin mengerjakan amal shalih, dan bersamaan dengan itu para mukmin itu juga senantiasa khawatir, cemas jikalau amal shalih yang telah dilakukannya ternyata tidak diterima disisi Allah SWT., Karena itu, di dalam harap dan cemas itu, para mukmin senantiasa berusaha untuk bisa mengerjakan amal shalih sebanyak-banyaknya. Allah menyampaikan ciri mukmin ini di dalam QS. Al-Mukmin: 61:

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali pada Tuhan mereka; mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya”.

Meneruskan ayat-ayat Allah tersebut, Rasulullah SAW mengingatkan kita agar bersegera mengerjakan amal shalih, sebelum terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, karena di jaman akhir (yang insyaAllah kita alami ini) orang akan dikepung oleh berbagai rintangan agar semakin jauh dari tuntunan Ilahi. Rasulullah mengingatkan kita sebagai berikut:
“Bersegeralah kalian mengerjakan amal shalih, sebab akan datang fitnah-fitnah (besar) bagaikan gelap-gulitanya malam, dimana akan terjadi seseorang yang pada pagi harinya masih menjadi mukmin, sore harinya sudah menjadi kafir; dan sore harinya seseorang masih menjadi seorang mukmin, pagi harinya sudah menjadi kafir; orang-orang itu rela menjual agamanya dengan harga yang sangat murah.” (HR. Muslim)
Analisis dan prediksi Rasulullah SAW di dalam hadis di atas, mengisyaratkan, bahwa seorang mukmin jangan sampai terlambat mengerjakan ibadah dan amal shalih serta kebajikan-kebajikan lainnya, sehingga perjalanan hidupnya dipenuhi dengan kesibukan beramal dan beribadah kepada Allah SWT, karena takkan ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi esuk hari; hari-hari senantiasa berubah; masa selalu silih berganti, sementara berbagai fitnah bermunculan tiada terbendung.

Oleh karena dahsyatnya fitnah-fitnah tersebut, sampai-sampai sangat sulit untuk diketahui hakikatnya, ibarat berada di dalam suatu malam yang pekat, malam yang gelap gulita, yang menyebabkan orang sangat mudah tersesat dan tidak tahu arah; Inilah benang merah prediksi Rasulullah SAW; bahwa di pagi hari seseorang masih dalam keadaan mukmin, tiba-tiba di sore harinya sudah menjadi kafir (penentang kebenaran); dan sebaliknya, di sore harinya seseorang masih menjadi mukmin, tiba-tiba di pagi harinya sudah menjadi kafir.

Dalam kondisi seperti inilah, analisis Rasulullah kemudian, menyatakan bahwa sangat dimungkinkan seseorang rela menjual agamanya dengan harga yang sangat murah; sangat mudah ia menyatakan halal terhadap perkara-perkara yang telah diharamkan oleh Allah SWT; menyatakan haram terhadap perkara-perkara yang telah dihalalkan Allah SWT, gara-gara hanya ingin meraup keuntungan duniawi yang fana (tidak langgeng) ini.
Pesan kedua; (2) “Cintai apapun yang kamu suka, tetapi ingat bahwa semuanya akan berpisah denganmu”.

Rasulullah saw mengajarkan kepada kita agar jangan sampai terpedaya oleh keduniaan dalam bentuk apapun (harta, anak, isteri/suami, jabatan/pangkat, ilmu, dan sebagainya), sebab ketika kita terjebak oleh tipu muslihat keduniaan, maka bisa dipastikan kita akan kehilangan kepekaan hati; tidak bisa merasakan cahaya Allah SWT; hingga hati kita gelap dan nyaris tertutup dari hidayah serta pertolongan Allah SWT.

Disaat kita terlena oleh tipu muslihat keduniaan, sebenarnya di saat itu juga kita sudah melepas ikatan suci dengan cahaya Allah SWT. Karena itulah Rasul SAW mengajarkan kiat kepada kita agar harta dunia itu takkan membelenggu kita; beliau sampaikan agar kita memanfaatkan harta dunia itu sebagai sarana meraih cahaya Allah SWT.

Banyak model yang telah dicontohkan oleh para pemilik dunia dikalangan sahabat Rasul SAW.; mereka rela meninggalkan kecintaannya pada dunia yang telah lama dikuasai demi menuju rahman dan rahim Allah SWT. Salah satunya adalah Abu Thalhah. Beliau adalah orang Anshar yang paling banyak hartanya. Dan harta yang paling dicintainya adalah sebuah kebun indah yang terletak berhadapan dengan Masjid Nabawi. Kebun indah itu bernama Bairuha’. Rasulullah sendiri biasa masuk ke kebun itu dan menyempatkan minum airnya yang sangat jernih.
Suatu kali turun wahyu kepada Rasulullah SAW ayat 92 surat Ali ‘Imran:
“Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”

Setelah Abu Thalhah mendengar khabar akan turunnya wahyu tersebut, ia langsung menemui Rasulullah SAW, kemudian berkata kepada beliau; “wahai Rasulullah! Aku telah mendengar wahyu Allah yang engkau terima; sementara aku memiliki harta kekayaan yang sangat aku cintai, yakni sebuah kebun indah yang biasa engkau singgah disana; kebun Bairuha’. Saat ini kebun itu aku serahkan kepada engkau dengan harapan bisa menjadi sedekah yang aku harapkan kebajikannya dan sebagai simpanan di sisi Allah SWT. Maka taruhlah wahai Rasulullah, sesuai yang diberitahukan Allah kepada engkau.”

Sebagai mukmin, sudah barang tentu kita mengetahui bahwa tujuan hidup ini adalah Allah SWT; bukan harta, bukan tahta, dan bukan yang lainnya. Harta dunia semata alat; semata sarana. Ia hanya menyelamatkan, jika digunakan di jalan Allah SWT; Tetapi manakala hanya dinikmati untuk kemewahan dan kesombongan, ia hanya akan membuat diri lalai dan selebihnya mencelakakan.
Namun demikian, meski kita telah mengetahui, faktanya sering hati ini tidak mau menghayati; bahwa harta dunia itu adalah hanya alat semata. Harta dunia yang tampak langsung di depan mata, sungguh sangat menggoda hati; meski tahu harta itu fana dan akan abadi bila diinfakkan, hati ini masih sangat suka menyimpannya dan terasa berat untuk mengeluarkannya di jalan Allah SWT.

Perasaan terlalu mencintai harta seperti itu hendaknya jangan dibiarkan membelenggu jiwa. Meski dunia ini terasa indah, hendaknya selalu diyakinkan bahwa kita akan meninggalkan dunia ini; dan semua harta yang kita miliki akan kita tinggalkan. Hanya iman dan amal shalih yang menjadi bekal menghadap Allah. Kepada Allahlah kita akan kembali.

Keindahan dunia juga dirasakan oleh Abu Thalhah. Kalau beliau menganggap harta terindah dan paling dicintai adalah kebun Bairuha’, kita tentu juga memilikinya. Tentu saja dalam bentuk yang lain (misalnya; perhiasan emas, rumah, kendaraan, ladang, tanah, atau lainnya).

Andai kita bersama-sama melakukan sebuah simulasi untuk menjatuhkan pilihan; mana yang lebih kita cintai; “harta dunia kita” atau “Allah kah”?, kira-kira saja kita sangat berat untuk menjatuhkan pilihan itu. Andai kita menuliskan salah satu harta yang paling kita cintai pada secarik kertas; lalu kita tuliskan lagi tujuan hidup kita, yakni Allah SWT pada secarik kertas yang lain; kemudian masing-masing kita genggam erat-erat; lalu kita bertanya kepada diri sendiri; mana yang harus kita pertahankan dan mana yang harus kita lepas. Hati kita nampaknya akan terasa berat melepas salah satunya; mau melepas diri dari Allah SWT tidak akan mungkin, karena kita sangat sadar takkan melepas keimanan hanya demi membela harta dunia yang fana; namun akan melepas harta yang paling kita cintai rasanya juga sayang; karena selagi hidup di dunia kita akan membutuhkannya.

Meski paparan singkat ini hanya bayangan simulasi; hati kita sudah merasakan betapa berat memilih salah satu dari keduanya. Mampukah kita membuat keputusan gagah seperti Abu Thalhah ? Rasanya dengan jujur kita mengaku, bahwa hati ini masih sangat mencintai harta dunia kita. Abu Thalhah memang mencintai kebunnya, namun demi meraih kebajikan yang sempurna disisi Allah SWT, ia berani melepas harta yang paling dicintainya dan lebih berpegang kepada Allah SWT.

Pesan ketiga; “Berbuatlah kamu sesukamu, tetapi ingat bahwa kamu akan mendapat balasannya. “
“Hari ini adalah hari amal tanpa hisab, besuk hari hisab dan tak lagi menerima amal” kata Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW., telah membuat analisis tentang keadaan umat manusia di akhir jaman; beliau sampaikan bahwa di jaman itu manusia sudah tak lagi peduli kepada hukum dan aturan agama; Manusia banyak adalah manusia yang senang berbuat jahat, menentang kebenaran, bahkan bangga melakukan maksiat di depan umum.
Diantara sekian banyak orang, lanjut Rasulullah, hanya sedikit sekali orang yang masih mau mengikuti ajaran Allah dan Rasul-Nya; saking sedikitnya hingga orang-orang itu mendapat gelar “al-ghuraba” (manusia langka, manusia unik dan aneh); disebabkan kebanyakan orang sudah tak lagi peduli kepada norma dan ajaran agama, sementara orang-orang ini justru semakin taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kepada orang-orang langka ini, Rasul menyampaikan jaminan akan kepastian beroleh keuntungan dan kebahagiaan hakiki; (thuba li al-ghuraba); orang-orang unik ini bisa dikenali dari perilakunya; (1) mereka tetap baik dan berbuat kebajikan di tengah-tengah orang-orang brengsek (orang-orang jahat dan pekerjaannya hanya berbuat kejahatan); “alladzina yushlihuna idza fasad an-nas; (2) mereka tetap menghidupkan sunnah-sunnah Rasulillah SAW dengan penuh hikmat di tengah-tengah manusia banyak yang telah melalaikan bahkan membunuh sunnah-sunnah Rasul tersebut; “alladzina yuhyuna sunnaty ba’da amataha an-nas.
Dalam bahasan lain Rasulullah mengilustrasikan keadaan orang-orang beriman di jaman akhir seperti orang yang tengah memegang bara api di tangan, sementara ia berada di tengah-tengah samudra yang tiada bertepi. Andai bara api di lepas, ia akan kehilangan arah karena hanya bara api itu yang bisa menyinari sekelilingnya; sementara; sementara andai bara api tetap di pegang, ia akan berjuang mati-matian melawan panas yang tiada terperi. Hanya orang-orang yang beriman kokoh saja yang mampu bertahan dalam kondisi apapun; karena mereka tahu bahwa kebahagiaan hakiki telah menunggunya di surge Allah yang abadi.

Selagi kita masih di dunia; memiliki kesempatan untuk memilih, mari kita berbenah, menata hidup dengan lebih baik lagi, agar kita bisa memastikan diri, bahwa seluruh amal yang kita lakukan; semuanya bernilai shalih disisi Allah SWT.

Baca Selengkapnya ...

TELAAH PUSTAKA DAN TEKNIK PENYAJIAN

Published by ridokurnianto under on 21.19
Teori
Teori adalah serangkaian konsep, definisi dan proposisi yang saling berkaitan dan bertujuan untuk memberikan gambaran sistematis tentang suatu fenomena (sosial).
Kerlinger (1978), mengemukakan bahwa “ theory is set of interrelated contrstruct (concepts), definitions, and proposition that present a systematic view of phenomena by specifying relation among variables, with purpose of explaining and pedicting the phenomena. Teori adalah seperangkat konstruk (concept), definisi, dan proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik, melalui spesifkasi hubungan antar variabel, sehinga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.
Wiliam Wiersa (1986) menyatakan bahwa : A theory is a generalization or series of generalization by which we attempt to eplain some phenomena is systematic manner. Teori adalah generalisasi atau kumpulan generalisasi yang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena secara sistematik.


Coope and Schindler (2003), mengemukakan bahwa, A theory is aset of systematically interrelated concepts, definition, and proposition that are advanced to explain and predict phenomena (fact). Taori adalah seperangkat konsep, definisi dan proposisi yang tersusun secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.
Teori mengandung tiga hal: Pertama, teori adalah serangkaian proposisi antar konsep-konsep yang saling berhubungan. Kedua, teori menerangkan secara sistematis suatu fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan sosial antar konsep. Ketiga, teori menerangkan fenomena tertentu dengan cara menentukan konsep mana yang berhubungan dengan konsep lainnya dan bagaimana bentuk hubungannya (Singarimbun& Effendi, 1989:37).
Posisi Teori dalam Penelitian Kuantitatif dan Penelitian Kualitatif
Jika dalam penelitian kuantitatif teori sifatnya fix, sebagai landasan penyusunan variabel, hipotesa dan seterusnya, maka dalam penelitian kualitatif, seperti juga hipotesa kerja, sifatnya hanya sementara.
Jika dalam penelitian kuantitatif sifatnya menguji teori maka dalam penelitian kualitatif tujuan akhirnya menemukan teori atau paling tidak konsep atau kategorisasi.
Kalau dalam penelitian kuantitatif jumlah teori pada dasarnya sebanyak variabel yang dikembangkan, maka dalam penelitian kualitatif jauh lebih luas sesuai dengan fenomena sosial yang ada di lapangan. Karenanya dalam melakukan penelitian kualitatif peneliti menguasai seluruh teori yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.
Kendatipun dalam penelitian kualitatif peneliti diharapkan menguasai secara luas teori tentang realitas yang dibidik, namun dalam pelaksanaannya peneliti harus melepaskan seluruh teori yang dikuasai dan tidak digunakan untuk pedoman wawancara atau observasi. Jadi sifatnya grounded.
Posisi Teori Ditinjau Dari Tujuan Penelitian
Dilihat dari Basic Research paling tidak ada 5 tipe tujuan penelitian:
1. To explore (penjajagan): tujuannya berusaha untuk pengembangan awal, mencari gambaran kasar atau mencari pemahaman tentang fenomena sosial yang belum diketahui sebelumnya.
2. To describe: tujuannya untuk menggambarkan realitas sosial secara apa adanya atau melakukan pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial tertentu, termasuk keajegan-keajegan sosial yang ada. Peneliti mengembangkan konsep atau teori, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa.
3.To explain: untuk menjelaskan hubungan kausal fenomena sosial dengan mengembangkan pengujian hipotesa.
4. To understand: untuk memahami fenomena sosial secara mendalam, termasuk menentukan alasan-alasan dari tindakan sosial yang ada, kejadian-kejadian serangkain episode sosial, dengan berbagai alasannya yang diderivasi dari aktor sosial.
5. To predict: untuk melakukan ramalan kejadian tertentu dimasa mendatang, setelah melakukan pemahaman dan penjelasan atas fenomena sosial tertentu sebagai landasan postulatnya.
Dalam penelitian yang masih dalam tahap penjelajahan (to explore), maka posisi teori pada dasarnya tidak terlalu dominan. Kecuali untuk membantu memahami realitas sosial yang ada. Misalnya kita belum tahu mengapa sistem perkawinan poliandri bisa diterima oleh masyarakat di kecamatan x di Pasuruan: mengapa petani-gurem yang banyak memberikan sumbangan pada swadaya pangan, tetapi paling sedikit menerima keuntungan tidak pernah berontak (share of poverty): dan sebagainya.
Dalam penelitian desktiptif (to describe), meskipun tujuan penelitian hanya menggambarkan realitas sosial secara apa adanya, teori akan sangat membantu untuk menafsirkan atau memahami realitas sosial yang ada. Misalnya, untuk menggambarkan derajat nasionalisme 25 orang Indonesia di Australia, Deddy Mulyana (dalam disertasinya) setelah membuat kategorisasi model identitas etnik ( religius, moderat, kosmopolitan dan nasionalis), ia menggunakan berbagai teori untuk memahami gejala sosial yang ditemukan.
Dalam penelitian penjelasan (to explain), posisi teori sangat jelas, yakni untuk landasan penjelasan realitas sosial yang diturunkan dalam hipotesa hendak diuji. Misalnya, kita melakukan penelitian tentang bunuh diri di Ponorogo dengan mencoba menverifikasi (dengan berbagai modifikasi) teorinya Durkhiem.
Dalam penelitian yang bertujuan untuk memahami (to understand) realitas sosial, posisi teori adalah untuk menafsirkan realitas. Misalnya, untuk keberhasilan kapitalisme di Asia Tenggara (oleh ras kuning) kita menggunakan pendekatan kebudayaan (Weberian) dengan mencoba mempelajari implikasi modal sosial etnik ini dengan mempelajari xinyong dan guanxi.
Atau, untuk memahami konflik etnik-keagamaan di Indonesia, kita menggunakan: teori “etho-nationalism” (primordialist atau intrumentalist) dari William Douglas (1993); teori “deprivasi relatif” dari Robert Gurr; atau teori penguatan identitas dan kohesi kelompok dari Peter Blau (overlapping cleavages atau crosscutting cleavages). Atau misalnya, untuk memahami mengapa mesin politik gagal menghantarkan Megawati-Hasyim jadi presiden, dengan perspektif bureaucratic polity (Karl D Jackson), teori patron-client (Wertheim), teori ekonomi politik (Richard Robinson) dan sebagainya.
Dalam penelitian yang bertujuan untuk meramalkan (to predict), maka posisi teori adalah sebagai landasan ramalan, baik yang percaya dengan jalan sejarah yang linier (seperti meramalkan lepas landas dengan menggunakan teorinya WW Rostow, atau teori modernisasi sosialnya Daniel Lerner): Atau, sebuah ramalan yang berangkat dari interpretasi data, seperti ramalan Samuel P. Huntington tentang “ The Clash of Civizations” atau Francis Fukuyama tentang “The End of History”.
Teknik Penyajian/Penulisan Teori
1. Prinsipnya harus runut / berpola
2. Modelnya bisa beragam
3. Narasi bergantung pada penulis (tidak sangat terikat oleh bahasa baku tetapi tidak terlalu lepas darinya)


Baca Selengkapnya ...

PENGANTAR KE DUNIA FILSAFAT

Published by ridokurnianto under on 20.28
Mengenal Istilah Filsafat
Falsafah (Bahasa Arab), Philosophia (Bahasa Yunani); philos (loving) & shopia (hikmah, wisdom,pengetahuan), berarti cinta kepada pengetahuan,hikmah, kebijaksanaan. Orang yang cinta terhadap pengetahuan disebut philosophos atau filosuf. Jadi berfilsafat berarti berpikir mendalam, menyeluruh tentang semua yang ada dan mungkin ada dalam rangka mencari kebenaran substansial.


Sumber Filsafat
Sumber filsafat adalah rasa ingin tahu yang mendalam. Muncul sejak usia anak. Kepekaan anak terhadap dunia sekitar menjadikannya selalu ingin tahu apa yang sebenarnya dihadapi, kenapa terjadi, bagaimana terjadi, untuk apa terjadi, dan seterusnya.
Ketika seorang anak melihat gelas berada diatas meja, ia ingin tahu tentangnya, saat tangannya tak sampai menjangkaunya ia temukan solusi untuk meraihnya dengan menarik taplak meja tersebut, dan gelas tidak saja berhasil ia tarik, tetapi sekaligus pecah berantakan di tanah, begitu melihat gelas pecah muncul lagi kejadian tidak biasa padanya (wujud gelas tiba-tiba berubah menjadi kepingan-kepingan yang tak beraturan), diamatilah ia, dipukul, bahkan dicoba untuk dimasukkan ke dalam mulut dan kemudian dikunyah…dan seterusnya.
Rasa ingin tahu anak telah terjawab, tapi benarkah pengetahuan itu ? Nanti dulu, nampaknya menarik taplak meja untuk meraih gelas perlu diluruskan dengan tanpa harus menarik taplaknya, tapi langsung gelasnya, berarti pengetahuan yang diperoleh anak harus diiringi dengan tuntunan ke arah ilmu, sehingga pengetahuan berkembang menjadi ilmu
Ketika sejumlah rasa ingin tahu diteruskan dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar dan mengakar, kemudian dicarikan jawab melalui perenungan mendalam melalui akal dan kalbu, jadilah ia “pengetahuan filsafat”.
Bilamanakah Rasa Ingin Tahu Menjadi Berfilsafat?
Filosuf selalu melihat fenomena alam dengan rasa takjub. Rasa takjub adalah unsur pertama berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir mendalam tentang “segala yang ada” dan “mungkin ada”, apapun yang dilihat, didengar dan dirasa oleh filosuf adalah sesuatu yang selalu nampak “baru” dan “tidak biasa”. “Bagaimana semesta diciptakan?”, “Siapa penciptanya?”, “kenapa diciptakan?”, “bagaimana kesudahannya?”, “Siapakah manusia?”, kenapa ia diciptakan?”, dst., adalah pertanyaan-pertanyaan yang selalu muncul dalam benak para filosuf.
Bandingkan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang memaparkan pertanyaan-pertanyaan serupa, lihat, misalnya QS. Al-Ghasyiah(88): 17-20; afala yandhuruna ila al-ibil kayfa khuliqat, wa ila as-sama’ kayfa rufi’at, wa ila al-jibal kayfa nushibat, wa ila al-ardhi kayfa suthihat. Jadi al-Qur’an penuh dengan isyarat agar manusia melakukan perenungan mendalam tentang makhluk Allah yang terhampar di semesta-Nya
Tahapan Berpikir Ke Alam Filsafat
Alur tahapan berpikir ke alam filsafat mengikuti perkembangan pemikiran manusia adalah dari mitologis (dewa-dewa) ke arah filosofis (pengalaman dan akal). Prosesnya adalah ketika ada sejumlah pertanyaan tentang proses alam terjadi, terciptalah berbagai mitos, kemudian bertahap menuju pengetahuan sains, dan kemudian menuju pengetahuan filsafat
Para filsosuf awal yang diduga membidani lahirnya filsafat, memulai kajian filsafatnya dari alam. Mereka bertanya sekitar bahan dasar alam.;“Apa bahan dasar alam”? “Bagaimana alam terjadi?”. Para filosuf Yunani awal sering disebut “filosuf alam” karena menaruh perhatian besar pada alam dan proses-prosesnya. Thales menganggap “air” asal segala yang ada di semesta, Anaximander bilang “tak terbatas” artinya zat dasar yang tidak biasa, Anaximenes bilan “udara” atau “uap”, air kata dia adalah udara yang dipadatkan, tanah adalah air yang membeku, dst. Ketiga filosuf tersebut hidup pada jaman yang hampir sama sekitar 570-526 SM.
Berfilsafat Membuat Orang Cerdas Dan Bijak ?
Inti berfilsafat adalah menggunakan akal pikiran karunia Allah SWT., untuk merenungkan makhluk ciptaan-Nya dari semua sudut dan perspektif. Perenungan akal yang mendalam akan membuahkan ketakjuban luar biasa, menjadikan manusia sadar betapa Allah adalah Maha Besar, menjadikannya semakin yakin bahwa Dia lah dibalik semua yang ada dan terhampar di semesta ini.
Berfilsafat akan selalu berakhir dengan keterbatasan “akal”, sekalipun saat berfilsafat akal bisa menembus ruang dan waktu yang luar biasa. Disinilah pentingnya keimanan agar ketika kemampuan akal terbatasi oleh “dinding” batas kemampuan akal, ia bisa kembali kepada Sang Pencipta. Karena itu, berfilsafat harus melibatkan aspek pikir, dzikir, dan tadabbur, agar semua yang dihasilkan oleh perenungan akal tidak “liar” dan “nakal”. Berfilsafat yang benar akan menjadikan pelakunya menjadi ahli hikmah (seorang arif dan bijak) dalam hidup dan kehidupan
Filosof Model?
Muhammad SAW sebagai teladan bagaimana harusnya berfilsafat. Kasus Tahannus Rasul SAW di gua Hira’ menjadi bukti bagaimana manusia pilihan Allah itu sangat peka terhadap realitas kehidupan di sekelilingnya; “kenapa orang-orang menyembah patung?”, “dimana dan seperti apa sebenarnya sang pencipta semesta?”, “dimana Dia harus dicari?”, dan seterusnya. Saat Rasul mencapai puncak perenungan turun wahyu melalui Jibril AS dengan membawa petunjuk tentang hidup dan kehidupan. Rasul kemudian turun ke tengah-tengah masyarakat untuk membangun peradaban unggul dibawah tuntunan Allah.
Daya nalarnya yang sangat kritis tiada banding dan kemudian dikuatkan dengan bimbingan Allah melalui wahyu-Nya melahirkan sosok Muhammad SAW menjadi orang yang sangat arif dan bijak.
Manfaat Berfilsafat
Berfilsafat akan membuat hidup terpola secara rapi. Tak ada fenomena kehidupan yang lolos dari ketakjubannya. Fenomena kehidupan akan selalu dihadirkan dalam perenungan yang mendalam melalui berbagai pertimbangan yang mengakar. Fenomena kehidupan itu akan menjadi dasar pijak dalam mensikapi hidup dan kehidupannya. Hikmah menjadi kata kunci hidup dan kehidupannya.




Baca Selengkapnya ...

MEMAKNAI TAKDIR; MEMBANGUN MANUSIA BERTANGGUNGJAWAB

Published by ridokurnianto under on 19.53
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan kelengkapan yang sempurna. Dari aspek lahir memiliki bentuk yang paling bagus dibandingkan dengan makhluk Allah yang lain (ahsan at-taqwim). Sementara dari aspek batin dibekali kelengkapan yang semakin sempurna melengkapi kesempurnaan lahir/fisik.
Kesempurnaan penciptaan manusia bukan tanpa alas an, tetapi sarat dengan misi besar yakni mengemban amanah Allah sebagai khalifah (wakil)-Nya di bumi sekaligus sebagai hamba-Nya. Agar manusia benar-benar siap dan mampu mengemban amanah kekhalifahan dengan baik, Allah lengkapi dengan potensi untuk berkembang, yakni; al-masyi’ah (kehendak); al-isthitha’ah (daya, kekuatan, kemampuan); dan al-‘amal (tindakan, perbuatan). Potensi manusia akan berkembang sesuai dengan kemauan dan kemampuan manusia yang bersangkutan dalam mengelola al-masyi’ah, al-isthitha’ah, dan al-‘amal tersebut.


Sebuah Ilustrasi
Ada 2 benih pohon yang mulai tumbuh di sebuah hamparan ladang yang subur. Benih pertama berkata: “Aku ingin tumbuh besar, aku ingin menjejakkan akarku jauh ke dalam tanah, aku ingin menjulangkan tubuhku di atas tanah yang keras ini, aku ingin membentangkan semua tunasku untuk menyampaikan salam musim semi kepada dunia, aku ingin merasakan hangatnya matahari dan merasakan segarnya embun pagi di pucuk-pucuk daunku.” Dan benih itupun tumbuh makin menjulang
Benih kedua berkata: “Aku takut, jika akarku kulesakkan ke dalam tanah aku tak tahu apa yang akan kutemui di bawah sana, bukankah disana sangat gelap ?, dan jika kubentangkan tunasku aku khawatir keindahan tunasku akan hilang, bukankah tunasku akan terkoyak?, apa yang akan terjadi ketika tunasku terbuka, pastilah gerombolan siput akan memakanku, belum lagi anak-anak manusia yang sering bermain di sekelilingku; pastilah mereka akan mencabutku, TIDAK ! Aku tak mau tumbuh dan merekah, aku lebih baik menunggu waktu sampai semuanya aman.”
Kedua benih telah beroleh takdir penciptaan; keduanya memiliki kesempatan penuh untuk berkreasi memanfaatan kesempatan hidup. Benih pertama mampu menjemput takdir kehidupan berikutnya dengan cita dan ikhtiar; hingga menjadi sebuah pohon yang kuat dan rindang; sementara benih kedua menjemput takdirnya dengan tanpa cita dan ikhtiar; hingga menjadilah tetap kerdil dan bahkan konon kabarnya tubuhnya dicabik-cabik kawanan ayam hutan.
Apakah Takdir ? Adakah Peran Manusia di dalamnya ?
Dalam hal takdir sebenarnya ada campur tangan manusia, sebanyak 2/3 bagian, sementara kehendak Allah adalah 1/3 bagian dari keseluruhan rangkaian takdir. Apa maksudnya?
Ayat Al-quran yang mengatakan : “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu merubahnya” (QS. Ar-Ra’d:11), mengandaikan keharusan menyambut takdir dengan ikhtiar manusia. Jadi, taqdir baik atau tidak, nasib baik atau tidak, sebagian besar tergantung pada manusia.
3 Tahapan Menuju Takdir Allah
QAULI : mengusahakan untuk mendapatkan kehidupan yang baik dengan mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menggapai kehidupan baik tersebut.
SYAR’I : menunaikan ibadah yang telah diwajibkan oleh Allah SWT dan senantiasa berdo’a agar Allah SWT memberikan kemudahan bagi hidup dan kehidupan ini dengan hasil terbaik. Jika tidak melakukan tahap kedua ini dengan benar dan mendapatkan takdir yang jelek, maka jangan salahkan takdir.
GHAIBI : keyakinan bahwa apapun yang terjadi adalah kehendak Allah SWT., artinya ketika kita telah melaksanakan tahapan pertama dan kedua dengan baik, namun mendapatkan hasil yang tidak baik atau gagal maka itu adalah kehendak Allah, mungkin Allah telah menyiapkan sesuatu yang lebih baik untuk kita.
Sekitar Makna Tanggungjawab
TANGGUNGJAWAB: Bertindak tepat tanpa perlu diperingatkan
BERTANGGUNGJAWAB: sikap tidak tergantung dan peka terhadap perasaan orang lain. Jadi tanggungjawab adalah kesadaran yang ada dalam diri seseorang behwa setiap tindakannya akan berpengaruh bagi diri dan orang lain.
Makna dan Konsekuensi
Kesadaran yang ada dalam diri seseorang bahwa setiap tindakannya akan mempunyai pengaruh bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri. Karena menyadari bahwa tindakannya itu berpengaruh terhadap orang lain ataupun diri sendiri, maka ia akan berusaha agar tindakan-tindakannya hanya memberi pengaruh positif saja terhadap orang lain dan diri sendiri sekaligus menghindari tindakan-tindakan yang dapat merugikan orang lain ataupun diri sendiri.
Kiat Penanaman Tanggungjwab
Melalui Model : menanamkan rasa tanggung jawab sebaiknya dilakukan dengan memberi contoh konkrit, melalui orang dewasa di sekitarnya (orang tua, guru, pembimbing, dan seterusnya). Kalau Guru/Orang tua seenaknya membuang sampah di sembarang tempat (yang bukan tempatnya), maka segala nasihat atau anjuran tentang membuang sampah yang benar tidak akan ada hasilnya (alias sia-sia).
Memberikan Kepercayaan. Pada hakikatnya kepercayaan orang dewasa merupakan sumber kepercayaan bagi diri anak. Jadi, apabila orang tua percaya pada usaha anak dan bahwa anak bisa menampilkan sesuatu sebagaimana yang diharapkan, maka anak pun akan menyelesaikan tanggung jawabnya dengan baik. Namun, bila anak merasa bahwa orang tua mereka tidak mempercayainya, anak akan merasa terombang-ambing. la tidak akan memiliki rasa percaya diri bahwa ia akan dapat menyelesaikannya dengan baik.
Melimpahkan Tugas sesuai dengan Keunikan Anak. Anak merupakan pribadi-pribadi unik. Masing-masing berbeda secara individual, baik dalam perkembangan maupun kepribadiannya. Mereka memiliki modalitas beragam (Visual, Auditorial, Kinestetik). Oleh sebab itu jenis tugas yang sama belum tentu dapat diselesaikan dengan hasil yang sama baiknya oleh setiap anak.
Kiat Melejitkan Rasa Tanggungjawab
Hadapkan pada Tantangan. Anak yang biasa dihadapkan pada keadaan yang penuh tantangan akan memperoleh kepercayaan diri yang lebih besar. Di samping itu ia akan lebih berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam tugas-tugas rutin kehidupan keluarganya maupun sekolah. Cukuplah katakan pada anak, “Bapak percaya kepadamu” atau “Ibu percaya kamu akan mengambil keputusan yang benar.”,
Beri Landasan yang Kuat. Berbicara mengenai tanggung jawab ini, Dr. Haim G. Ginott, dalam bukunya “Between Parent and Child” berpendapat, rasa tanggung jawab sejati harus bersumber pada nilai-nilai asasi kemanusiaan: hormat kepada hidup sesama manusia, kebebasan, dan pencarian kebahagiaan. Namun kita jarang melihat masalah tanggungjawab dalam kerangka yang lebih luas itu. Kita cenderung untuk melihat rasa tanggung jawab dari segi-segi yang datar dan biasa: kamar anak bersih atau tidak; mengerjakan PR apa tidak; bagaimana dengan shalatnya; tingkah lakunya sopan atau tidak, dan sebagainya.
Penanaman Sejak Dini. Sesungguhnya, sebagaimana sering dikatakan para ahli, bahwa anak harus belajar bertanggung jawab atas empat hal. Mainannya, pakaiannya, binatang peliharaannya dan yang terpenting dirinya sendiri. Sebaiknya tanggung jawab diajarkan sedini mungkin. Karena makin terlambat tanggung jawab diajarkan, makin sulitlah baginya kelak untuk memikul tanggung jawab itu. Dan, orang tualah tokoh yang paling bertanggung jawab dalam hal menanamkan rasa tanggung jawab pada anak.
Taqdir Dan Tanggungjawab
Islam menghendaki umatnya menyambut taqdir dengan ikhtiar penuh. Kehidupan yang tidak pro-aktif terhadap perubahan merupakan sesuatu yang dilarang dalam ajaran agama (Islam); “Hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok” (QS. Al-Hasyr (59):18)
Sikap hidup dinamis juga telah dibekalkan oleh Rasulullah SAW kepada kita agar kita membekali diri dengan sejumlah keilmuan dan ketrampilan untuk menghadapi hidup; “uthlub al-‘ilm walau bil-sin” (“tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina); “uthlub al-‘ilm min al-mahd ila al-lahd” (“tuntutlah ilmu sedari kecil sampai menjelang ajal”).
Akrab dengan taqdir akrab mengenali diri. Mengenali diri merupakan pintu masuk untuk mempersiapkan langkah strategis menghadapi masa depan. “Man ‘arofa nafsah faqad ‘arafa rabbah” (“Barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya”). Sabda Rasulullah SAW ini menegaskan betapa kekuatan dahsyat dari pengenalan diri seseorang untuk menggapai puncak kehidupan.
Tindakan adalah cermin bagaimana kita melihat dunia. Sementara dunia kita tak lebih luas dari pikiran kita tentang diri kita sendiri. Kita diajarkan untuk berprasangka positif pada diri sendiri, agar kita bisa melihat dunia lebih indah, dan bertindak selaras dengan kebaikan-kebaikan yang ada dalam pikiran kita.
Dunia tak butuh penilaian apa-apa dari kita. Ia hanya memantulkan apa yang ingin kita lihat; menggemakan apa yang ingin kita dengar. Bila kita takut kepada dunia, maka sebenarnya kita takut pada diri sendiri. Kita perlu jujur melihat diri sendiri apa adanya. Dunia pun akan menampakkan realitanya yang selama ini bersembunyi di balik penilaian-penilaian kita.
Hasil akhir kehidupan yang telah diupayakan dengan optimal adalah taqdir yang sebenarnya. Hasil akhir belum tentu/mesti sesuai dengan keinginan/rencana semula. Tapi hasil akhir buah karya optimal adalah kehidupan terbaik.
Sebuah motto yang ditulis AJ. Cronin dikutip Johnson untuk mengantarkan karya ilustratifnya “Who Moved My Cheese ?” (2001:xiii), layak kita renungi: “Kehidupan bukanlah jalan yang lurus dan mudah dilalui, dimana kita bisa bepergian bebas tanpa halangan, namun berupa jalan-jalan sempit yang menyesatkan, dimana kita harus mencari jalan, tersesat dan bingung, sekarang dan sekali lagi kita sampai pada jalan yang tak berujung. Namun, jika kita punya keyakinan, pintu pasti akan dibukakan untuk kita, mungkin bukanlah pintu yang selalu kita inginkan, namun pintu yang akhirnya akan terbukti terbaik untuk kita.”



Baca Selengkapnya ...

TRADISI WAROK DAN MARGINALISASI PEREMPUAN DI KABUPATEN PONOROGO

Published by ridokurnianto under on 20.09
Di dalam kebesaran tradisi warok Ponorogo ternyata menyisakan sisi gelap, berupa penyimpangan seksual yang lebur di dalam fenomena gemblak. Penyimpangan seksual itu didapati memiliki landasan kokoh yang mengalir melalui ideology kanuragan yang melekat dalam kehidupan warok. Ideologi kanuragan itu mengajarkan bahwa seorang warok harus menjauhi berhubungan dengan perempuan (sekalipun isterinya sendiri) agar ilmu kekebalan bisa dikuasai dengan sempurna. Karenanya, hadirlah sosok gemblak (seorang lelaki belia berusia 10 sampai 17 tahun) sebagai pengganti peran dan fungsi perempuan (isteri) tersebut. Kehidupan dalam suasana tradisi warok sebagaimana dipaparkan, mengasumsikan terpinggirkannya kaum perempuan (para isteri warok), baik dalam peran dan fungsi mereka dalam kehidupan rumah tangga maupun terlebih dalam kehidupan bermasyarakat.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: (1) Ingin mendeskripsikan dinamika kehidupan tradisi warok Ponorogo; (2) Ingin mendeskripsikan status dan peran perempuan (para isteri warok dan warokan) dalam tradisi warok Ponorogo; (3) Ingin mendeskripsikan dinamika hubungan gender dalam tradisi warok Ponorogo. Selanjutnya, secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini memberikan sumbangan yang signifikan dalam penguatan khasanah ilmu pengetahuan, terutama di bidang dinamika hubungan gender dalam tradisi warok Ponorogo. Sedangkan secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bisa dipakai landasan beraktifitas, terutama bagi kaum perempuan Ponorogo dalam rangka berperan aktif dalam pembangunan masyarakat di segala bidang.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Ponorogo. Informan peneltian ini adalah para warok, warokan, dan para isteri mereka. Beberapa informan pendukung adalah para tokoh Yayasan Reyog Ponorogo (sebuah organisasi kesenian reyog Ponorogo yang didirikan sebagai pusat pengelolaan dan pengembangan kesenian tersebut). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi, wawancara mendalam (indheep interviewing), dan dokumenter. Teknis analisis data menggunakan deskriptif kualitatif melalui proses induksi-interpretasi-konseptualisasi. Proses analisis dalam penelitian ini telah dimulai sejak peneliti menetapkan fokus, permasalahan, dan lokasi penelitian, kemudian menjadi intensif ketika turun ke lapangan. Proses analisis akan berjalan melalui kategorisasi atau konseptualisasi data yang terus digali, sambil membandingkan dan mencari hubungan antar konsep sampai melahirkan hipotesis-hipotesis. Proses ini akan bergerak tidak secara linier lagi, tetapi berputar secara interaktif antara satu konsep dengan konsep yang lain, atau antara kategori satu dengan kategori yang lain. Proses ini juga akan bergerak sejak awal pengumpulan data, bekerja secara simultan, semakin kompleks atau rumit, tetapi sekaligus semakin mengarah pada proses munculnya hipotesis dan sampai pada titik tidak terdapat lagi informasi baru (Hamidi, 2004: 80-81)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa; gemblak dalam tradisi warok Ponorogo merupakan tuntutan dari ideology kanuragan. Kehadirannya dibutuhkan sebagai kompensasi hilangnya peran dan fungsi isteri mereka disebabkan tuntutan ideology kanuragan itu. Disinilah sisi gelap kehidupan warok muncul, terutama terkait dengan penyimpangan seksual (homo seksual) dimana pada gilirannya melahirkan citra buruk tradisi warok Ponorogo. Citra buruk atau sisi gelap kehidupan warok yang santer terdengar di masyarakat, ternyata tidak sepenuhnya benar, karena di dalam tradisi itu ada kelompok warok yang memiliki gemblak (sebatas teman dan pelayan kebutuhan ritual saat nglakoni) dan ada juga kelompok panggemblak (bukan warok tetapi memiliki gemblak, untuk memenuhi hasrat seksual atau pemuas nafsu). Terlepas dari tradisi gemblak maupun panggemblak, tradisi warok ini telah mengakibatkan peran dan fungsi isteri terpinggirkan. Marginalisasi perempuan dalam bentuk konco wingking (sebatas mengurus rumah tangga) dan urmat garwa (menghormati apapun yang dilakukan suami).
WAROK TRADITION AND WOMAN MARGINALIZATION IN PONOROGO REGENCY
In the great tradition of warok Ponorogo, there is still left a bad image in the forms of sexual deviation called gemblak. This deviation is believed as a basic principal to get or keep his magic power (kanuragan) of warok life. The idea of kanuragan taught him that a warok has to keep his distance from the woman even his own wife in order to master the power perfectly, it makes him to take a boy aged 10 to 17 years old as a gemblak who changes the role of his wife. This tradition of course is assumed that woman (warok’s wives) has been marginalized both their role and function in their family and community activities.
The research is aimed to: (1) describe the dynamic life of warok tradition in Ponorogo; (2) describe woman (warok and warokan’s wives), status and role in warok tradition in Ponorogo; (3) describe the correlation of gender in warok tradition in Ponorogo. Theoritically, this research is expected to give significant contribution for science, mainly the dynamic of gender relationship in warok tradition in Ponorogo. In pragmatic, however, this study is hoped to be reference of any activities especially the woman in Ponorogo to participate in community development of any fields.
This research used qualitative approach. The place of the research is in Ponorogo Regency. The research informan are warok, warokan, and their wives. The supporting informan are also taken from Reyog Ponorogo Fondation. The techniques of collecting data used in this research are observation, indepth interview and documentary. The result of data collection was analyzed descriptively through the process of induction, interpretation, conseptualization. The process of analysis started when the resercher set the focus, stated the research problems, and determined the location, and then intensively went down to the field. The process will work through the catagorization or conceptualization of data observed, and then it was compared and found out the correlation among the concepts to formulate the hypothesis. This process is done interactively between one concept and another not linierly. It also worked simultaneously from the data collection simply to the complex ones, that lead to the emergence of hypothesis until the absence of new information (Hamidi, 2004: 80-81).
The result of study has revealed that gemblak in warok Ponorogo tradition is a must of the magic power (kanuragan) ideology. This presence is badly needed for compasating his wives role and function. Here is negative aspect of warok life in the forms of sexual deviation (homosexual) that producing the negative view of warok tradition. This negative image of warok life is not absolutely correct. Some waroks have gemblak just as their gemblak as a sexual compensation. From this point of view either as a partner or sexual compensation, the role and the function of warok wives has been marginalized in the forms of house wive only (konco wingking) and underbow of husbend (urmat garwa).


Baca Selengkapnya ...

PERLAWANAN KULTURAL TRADISI RAKYAT (TRADISI LARUNG RISALAH DALAM PERGUMULAN AGAMA, KEKUASAAN, DAN TRADISI DI NGEBEL PONOROGO)

Published by ridokurnianto under on 19.33
Penelitian ini mengungkapkan beberapa temuan mengenai perlawanan kultural yang dilakukan masyarakat pemilik adat larungan di wilayah Kecamatan Ngebel Kabupaten Ponorogo. Kerangka penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan sosiologis model vestehen atau pemahaman, yakni memberikan pengartian yang lebih mendalam, mengenai hubungan antara keadaan tertentu dengan proses perilaku yang terjadi. Informan dalam penelitian ini adalah para pelaku ritual Larung Risalah, baik yang terlibat secara struktural maupun kultural. Selain interview, data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui observasi dan dokumenter. Sedangkan metode analisis data melalui deskripsi analitik, yakni menggambarkan kategori-kategori yang ditemukan dan muncul dari data.

Temuan-temuan utama dalam penelitian ini terbagi menjadi 6 pokok bahasan, yakni sejarah larungan, pola hubungan antar pelaku larung, motif perlawanan kultural, dampak perlawanan kultural, pergumulan antar perspektif dan kepentingan, dan upaya pemberdayaan.
Dalam penelitian ini, sejarah larungan mengalami dua fase, yakni sebelum dilembagakan dan setelah dilembagakan. Sebelum dilembagakan larungan dimulai sejak waktu yang sangat lama dalam bentuk slametan, wilujengan, dan belum ditemukan kapan pertama kali lahir, siapa penggagasnya, apa motifnya, dan seterusnya. Kuat dugaan bahwa larungan fase ini ada sejak adanya masyarakat Ngebel, terbukti dengan prosesi ritual yang sarat dengan semangat animisme dinamisme. Setelah ritual larungan dilembagakan dalam bentuk Larung Sesaji semua komponen masyarakat pelaku larung merasa terlibat dalam sejarah larungan ini, sehingga berdampak pada pendukungan yang sama-sama kuat. Ritual larungan ini baru menuai konflik setelah dirubah menjadi Larung Risalah dimana perspektif dan kepentingan kelompok dominan masuk menyemangati ritual ini.
Pola hubungan sosial antar pelaku larung adakalanya mesra dan adakalanya bertengkar. Kemesraan atau harmoni terjadi ketika semua komponen menjunjung tinggi kebersamaan, keterbukaan, dan kesepahaman di tengah-tengah perspektif dan kepentingan kelompok yang muncul. Pertengkaran atau disharmoni terjadi ketika “pemaksaan” perspektif atau kepentingan tertentu muncul dan menyemangati ritual larungan ini.
“Pemaksaan” budaya ritual larungan lewat Larung Risalah melahirkan 3 motif perlawanan rakyat (masyarakat pemilik adat ritual larungan di Ngebel); (1) memperkuat identitas internal melalui koordinasi dan konsolidasi sesama pemilik adat larungan untuk melestarikan kearifan lokal warisan nenek moyangnya sebagaimana adanya; (2) mengimbangi gerakan islamisasi para tokoh agama lewat Larung Risalah dengan gerakan de-islamisasi melalui penguatan simbol-simbol sesaji; dan (3) menjaga stabilitas gairah pembangunan wisata Telaga Ngebel dalam rangka mewujudkannya menjadi obyek wisata andalan di Kabupaten Ponorogo.
Di dalam dinamika perlawanan kultural itu ditemukan dua dampak, yakni negatif maupun positif. Dampak negatif terkait dengan minimnya dukungan masyarakat setempat terhadap penyelenggaraan ritual Larung Sesaji. Sedangkan dampak positifnya melahirkan kreatifitas tinggi masyarakat untuk berekspresi budaya melalui ritual larungan “tandingan”, diantaranya munculnya prosesi Lampah Ratri Sewudian (jalan kaki tengah malam mengitari telaga dengan menyalakan seribu obor), dimana lewat kreasi ini bisa jadi akan semakin menguatkan pesona wisata Telaga Ngebel.
Pergumulan antar berbagai perspektif dan kepentingan akhirnya benar-benar terjadi ketika ritual larungan berubah menjadi Larung Risalah. Para tokoh agama (Muslim) yang pada awalnya memiliki keinginan mewarnai ritual itu dengan warna islami, tanpa sadar telah memberi peluang munculnya solidaritas organik sekaligus mekanik pada masyarakat pemilik adat untuk semakin menguatkan pesan-pesan formal kearifan lokal warisan nenek moyangnya itu, sehingga aspek sesaji dimunculkan semakin kuat. Sementara dari pihak penguasa (Pemerintah Daerah) yang memiliki kepentingan melestarikan budaya lokal sekaligus penguatan pembangunan wisata Telaga Ngebel, tidak memiliki kekuatan penuh menggerakkan semangat masyarakat pemilik adat, akibat dukungannya terhadap gerakan islamisasi oleh para tokoh agama tersebut. Dan di sela-sela pergumulan itu, muncul pula komunitas masyarakat Muslim “militan” Ngebel yang menginginkan pensikapan ritual larungan dengan aktifitas budaya yang rasional dan islami melalui acara keagamaan yang dibalut dalam agenda istighatsah.
Di dalam pergumulan budaya itu ternyata masih menyisakan ruang untuk membangun keterbukaan, kebersamaan, dan kesepahaman antar komponen masyarakat (tokoh agama, pemerintah, maupun masyarakat pemilik adat), yakni dengan eksisnya semangat mewujudkan Telaga Ngebel menjadi obyek wisata andalan di Kabupaten Ponorogo. Karena itu, Pemerintah Kabupaten Ponorogo layak bersikap arif untuk menjadikan semangat ini menjadi kata kunci yang harus dipegangi semua pihak, sekalipun masing-masing tetap memiliki perpsektif dan kepentingannya sendiri. Ritual larungan di Telaga Ngebel, apapun bentuk dan isinya, tetap akan membuahkan karya besar dan memberikan kemanfaatan luas, senyampang logika kesepahaman tetap bertahan dan dipedomani oleh masing-masing pihak pelaku ritual larungan ini.










Baca Selengkapnya ...

SHALAT MENEMBUS LANGIT

Published by ridokurnianto under on 19.23
Inna al-hamd li Allah nasta’inuh wa nastaghfiruh wa na’udzu bi Allah min syurur anfusina wa sayyiati a’malina man yahdi Allah fa huw al-muhtady wa man yudhlil fa la hadiya lah. Asyhadu an la ilaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan ’abduh wa rasuluh. Allahumma shalli wa sallim wa barik ’ala Muhammadi an-Nabiyy wa ’ala alih wa shahbih ajma’in. Amma ba’d, fa ya ikhwan rahimakum Allah; ushiny wa iyyakum bi taqw Allah wa tha’atih la’allakum turhamun.
Ma’asyir al-Muslimin rahimakumullah !
Shalat merupakan tulang punggung tegaknya agama Islam, dimana karena itu, shalat memiliki nilai kebermaknaan yang sangat tinggi. Karena itu pula, ia menjadi penentu bagi baik-buruk, tegak-robohnya agama Islam. Rasulillah SAW bersabda; “Shalat merupakan tiyang agama, barang siapa yang menegakkannya berarti ia telah menegakkan agama, dan barang siapa merobohkannya, berarti ia telah merobohkan agama.”; as-shalatu ‘imad ad-din fa man aqamaha faqad aqam ad-din, wa man hadamaha faqad hadam ad-din.”


Rasulullah SAW., pernah menyampaikan khabar kepada para sahabat tentang keadaan manusia saat berkumpul di padang makhsyar usai dibangkitkan dari kubur, kata beliau; “di akhirat nanti, ketika ummat Rasul SAW mau minum air telaga Kautsar, di antara mereka ada kelompok manusia yang terhalang (tidak bisa meminum air telaga tersebut). Di saat itu semua manusia dibangkitkan dari kubur, sehingga menjadikan tempat di hari berbangkit itu penuh sesak dengan manusia hingga keadaan menjadi panas yang amat sangat. Begitu panasnya, hingga seluruh lubang yang ada di dalam anggota badan manusia itu menyemburkan api. Disaat Rasul SAW menyaksikan orang-orang yang tidak kebagian air telaga kautsar, beliau bertanya kepada Allah SWT.; “Mereka itu kan ummatku ya Allah?, Allah menjawab; “Bukan Muhammad, bukan ! kamu tidak mengetahui apa yang mereka lakukan sepeninggalmu, mereka itu adalah orang-orang yang mengerjakan shalat, tetapi shalatnya tidak sesuai dengan petunjukmu.” HR. Muslim
Ma’asyir al-Muslimin rahimakumullah!
Hadis di atas sekaligus menyadarkan kita, bahwa ternyata banyak ummat Muhammad SAW., yang mengerjakan shalat, tetapi bersamaan dengan itu, shalatnya ternyata tidak bisa menjadikanya beroleh rahmat Allah SWT di akhirat nanti, bahkan ketika menghadapi kesulitan yang amat dahsyat di tengah padang mahsyar (tempat yang sangat mencekam), mereka tidak bisa merasakan air telaga Kautsar sebagai satu-satunya pelepas dahaga dari kondisi panas yang tak terperi. Dengan demikian, tidak sembarang shalat bisa menjadikan orang yang melakukannya memperoleh pahala kebaikan dari Allah SWT.
Sebenarnya kita telah memaklumi, bahwa berkali- kali Rasul SAW menjelaskan, bahwa ibadah shalat merupakan pokok/pangkal dari seluruh amal yang kita kerjakan. Shalat inilah di akhirat kelak, di yaum al-hisab; di hari dimana amal perbuatan kita ditimbang dan dinilai, akan dihitung pertama-tama. Di dalam ibadah shalat inilah, seluruh amal yang telah kita lakukan di ukur dan dinilai. Apabila shalat kita bagus, maka bisa dipastikan bahwa amal ibadah lainnya akan dinilai bagus. Sebaliknya, apabila shalat kita jelek, maka sudah bisa dipastikan bahwa amal ibadah lainnya juga akan ikut dinilai jelek;
Ma’asyir al-Muslimin rahimakumullah!
Dari Rasul SAW, kita juga telah begitu paham, bahwa shalat yang baik adalah shalat yang bisa menghadirkan jiwa kita menuju dan menghadap Allah SWT. Akan tetapi, dibalik pemahaman yang baik ini, ternyata kita sering menjadi kelompok manusia yang lalai di dalam shalatnya. Jika demikian, maka bisa jadi shalat kita tidak sekedar bernilai jelek, tetapi justru dengan shalat yang kita lakukan itu kita malah berbuat syirk kepada Allah SWT; hati kita mendua bahkan bercabang-cabang; tidak tertuju kepada Allah, melainkan tertuju kepada keduniaan yang fana ini (sekalipun kita sangat paham, bahwa syirk adalah satu-satunya perbuatan jahat dimana nilai kesalahan dan dosanya tidak bisa diampuni oleh Allah karena begitu besar nilai keingkarannya kepada Allah Sang Pencipta semesta ini).
Karena itulah, barangkli kita sangat bisa memahami, kenapa banyak mushalli dimana dengan shalat yang dikerjakannya, tidak bisa menghadirkan “hikmah agung” di dalam hidup dan kehidupannya, yakni berupa atsar as-sujud; tanha ‘an al-fakhsya’ wa al-munkar; tidak bisa menjadikannya tercegah dari perbuatan keji dan kemunkaran.
Barak Allah li walakum fi al-Quran al’adhim wa nafa’any wa iyyakum bima fihi min alayaty wa dhikr al-hakim wa taqabb al-minna tilawatah innahu huw as-sami’ al-‘alim.


Baca Selengkapnya ...