Assalamualaikum

PERLAWANAN KULTURAL TRADISI RAKYAT (TRADISI LARUNG RISALAH DALAM PERGUMULAN AGAMA, KEKUASAAN, DAN TRADISI DI NGEBEL PONOROGO)

Published by ridokurnianto under on 19.33
Penelitian ini mengungkapkan beberapa temuan mengenai perlawanan kultural yang dilakukan masyarakat pemilik adat larungan di wilayah Kecamatan Ngebel Kabupaten Ponorogo. Kerangka penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan sosiologis model vestehen atau pemahaman, yakni memberikan pengartian yang lebih mendalam, mengenai hubungan antara keadaan tertentu dengan proses perilaku yang terjadi. Informan dalam penelitian ini adalah para pelaku ritual Larung Risalah, baik yang terlibat secara struktural maupun kultural. Selain interview, data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui observasi dan dokumenter. Sedangkan metode analisis data melalui deskripsi analitik, yakni menggambarkan kategori-kategori yang ditemukan dan muncul dari data.

Temuan-temuan utama dalam penelitian ini terbagi menjadi 6 pokok bahasan, yakni sejarah larungan, pola hubungan antar pelaku larung, motif perlawanan kultural, dampak perlawanan kultural, pergumulan antar perspektif dan kepentingan, dan upaya pemberdayaan.
Dalam penelitian ini, sejarah larungan mengalami dua fase, yakni sebelum dilembagakan dan setelah dilembagakan. Sebelum dilembagakan larungan dimulai sejak waktu yang sangat lama dalam bentuk slametan, wilujengan, dan belum ditemukan kapan pertama kali lahir, siapa penggagasnya, apa motifnya, dan seterusnya. Kuat dugaan bahwa larungan fase ini ada sejak adanya masyarakat Ngebel, terbukti dengan prosesi ritual yang sarat dengan semangat animisme dinamisme. Setelah ritual larungan dilembagakan dalam bentuk Larung Sesaji semua komponen masyarakat pelaku larung merasa terlibat dalam sejarah larungan ini, sehingga berdampak pada pendukungan yang sama-sama kuat. Ritual larungan ini baru menuai konflik setelah dirubah menjadi Larung Risalah dimana perspektif dan kepentingan kelompok dominan masuk menyemangati ritual ini.
Pola hubungan sosial antar pelaku larung adakalanya mesra dan adakalanya bertengkar. Kemesraan atau harmoni terjadi ketika semua komponen menjunjung tinggi kebersamaan, keterbukaan, dan kesepahaman di tengah-tengah perspektif dan kepentingan kelompok yang muncul. Pertengkaran atau disharmoni terjadi ketika “pemaksaan” perspektif atau kepentingan tertentu muncul dan menyemangati ritual larungan ini.
“Pemaksaan” budaya ritual larungan lewat Larung Risalah melahirkan 3 motif perlawanan rakyat (masyarakat pemilik adat ritual larungan di Ngebel); (1) memperkuat identitas internal melalui koordinasi dan konsolidasi sesama pemilik adat larungan untuk melestarikan kearifan lokal warisan nenek moyangnya sebagaimana adanya; (2) mengimbangi gerakan islamisasi para tokoh agama lewat Larung Risalah dengan gerakan de-islamisasi melalui penguatan simbol-simbol sesaji; dan (3) menjaga stabilitas gairah pembangunan wisata Telaga Ngebel dalam rangka mewujudkannya menjadi obyek wisata andalan di Kabupaten Ponorogo.
Di dalam dinamika perlawanan kultural itu ditemukan dua dampak, yakni negatif maupun positif. Dampak negatif terkait dengan minimnya dukungan masyarakat setempat terhadap penyelenggaraan ritual Larung Sesaji. Sedangkan dampak positifnya melahirkan kreatifitas tinggi masyarakat untuk berekspresi budaya melalui ritual larungan “tandingan”, diantaranya munculnya prosesi Lampah Ratri Sewudian (jalan kaki tengah malam mengitari telaga dengan menyalakan seribu obor), dimana lewat kreasi ini bisa jadi akan semakin menguatkan pesona wisata Telaga Ngebel.
Pergumulan antar berbagai perspektif dan kepentingan akhirnya benar-benar terjadi ketika ritual larungan berubah menjadi Larung Risalah. Para tokoh agama (Muslim) yang pada awalnya memiliki keinginan mewarnai ritual itu dengan warna islami, tanpa sadar telah memberi peluang munculnya solidaritas organik sekaligus mekanik pada masyarakat pemilik adat untuk semakin menguatkan pesan-pesan formal kearifan lokal warisan nenek moyangnya itu, sehingga aspek sesaji dimunculkan semakin kuat. Sementara dari pihak penguasa (Pemerintah Daerah) yang memiliki kepentingan melestarikan budaya lokal sekaligus penguatan pembangunan wisata Telaga Ngebel, tidak memiliki kekuatan penuh menggerakkan semangat masyarakat pemilik adat, akibat dukungannya terhadap gerakan islamisasi oleh para tokoh agama tersebut. Dan di sela-sela pergumulan itu, muncul pula komunitas masyarakat Muslim “militan” Ngebel yang menginginkan pensikapan ritual larungan dengan aktifitas budaya yang rasional dan islami melalui acara keagamaan yang dibalut dalam agenda istighatsah.
Di dalam pergumulan budaya itu ternyata masih menyisakan ruang untuk membangun keterbukaan, kebersamaan, dan kesepahaman antar komponen masyarakat (tokoh agama, pemerintah, maupun masyarakat pemilik adat), yakni dengan eksisnya semangat mewujudkan Telaga Ngebel menjadi obyek wisata andalan di Kabupaten Ponorogo. Karena itu, Pemerintah Kabupaten Ponorogo layak bersikap arif untuk menjadikan semangat ini menjadi kata kunci yang harus dipegangi semua pihak, sekalipun masing-masing tetap memiliki perpsektif dan kepentingannya sendiri. Ritual larungan di Telaga Ngebel, apapun bentuk dan isinya, tetap akan membuahkan karya besar dan memberikan kemanfaatan luas, senyampang logika kesepahaman tetap bertahan dan dipedomani oleh masing-masing pihak pelaku ritual larungan ini.










Baca Selengkapnya ...

1 komentar:

Unknown mengatakan... @ 9 Mei 2014 pukul 18.39

Terima kasih ulasan yang diberikan, telah memberikan wawasan baru pada diri saya. Kebetulan saya menuliskan pengalaman saya bagaimana larung saji itu pada masa sebelumnya. Saya yang saat itu masih SMA menjelang mahasiswa, terlibat dalam acara pertama larung saji yang sebelumnya tidak ada. Mungkin saat ini memang saya dengar ada beberapa diskursus tentang acara ini. namun demikian kayaknya harus bisa memberikan alternatif pemikiran agar juga membantu mengurai ide untuk menjadi lebih baik

Posting Komentar