Assalamualaikum

Beberapa Versi Sejarah Kelahiran Reyog Ponorogo

Published by ridokurnianto under on 23.48
Hingga saat ini, belum ditemukan data secara akurat (bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah) mengenai sejarah kelahiran Reyog Ponorogo. Berdasar penelitian yang dilakukan Rido (1997), ditemukan beberapa versi yang memberikan pandangan tentang asal-usul kesenian ini.

Versi pertama, lahir dari imaginasi seorang seniman hasil pembacaan (perenungan) terhadap realitas kehidupan semesta. Dalam perspektif ini, Reyog lahir dari lukisan ide seorang seniman budaya yang meletakkan rasa bangga (takjub) nya terhadap harmoni kehidupan belantara. Kepala harimau dan burung merak yang menjadi perangkat utama dalam kesenian ini merupakan dua jenis binatang yang memiliki keistimewaan, baik dari aspek estetis maupun magisnya. Harimau sang binatang buas berkarakter liar dan ganas mendapat kehormatan sebagai sang raja hutan. Sementara burung merak merupakan binatang dengan karakter yang penuh pesona; cantik dan indah. Paduan kedua binatang berkarakter kontras tersebut, melahirkan paduan indah - sebuah karakter unik dalam sebuah kepribadian manusia, yakni kekuatan dan keindahan. Paduan inilah yang diharapkan lahir dari pribadi orang Ponorogo; berani, berwibawa, mampu memimpin, dan tetap dalam sikap yang santun dan menarik. Dengan demikian, versi sejarah Reyog ini, lebih cenderung menyampaikan pesan jatidiri dan identitas masyarakat Ponorogo sebagaimana diterangkan melalui simbolisasi kesenian Reyog ponorogo.

Versi kedua, lahir sebagai bias dari kepercayaan atau keyakinan masyarakat disaat animisme dan dinamisme tumbuh subur. Dalam kepercayaan masyarakat seperti ini, roh hewan yang telah mati sekalipun, bisa didatangkan kembali ke dunia seperti halnya keyakinan mereka tentang bisa kembalinya roh manusia yang telah meninggal. Sementara diyakini oleh mereka bahwa roh binatang yang paling kuat adalah roh harimau. Karena itu, dengan tujuan agar melindungi keselamatan mereka, roh itu diundang melalui upacara (ritual) adat; ritual pemanggilan roh. Pada perkembangan berikutnya, upacara adat itu memakai topeng kepala harimau dan kemudian dikemas melalui tari-tarian. Inilah dasar pijak versi kedua, sebagaimana tulis Hartono (1980), bahwa kesenian Reyog Ponorogo merupakan perkembangan lebih masak dari tradisi upacara adat tersebut.

Versi ketiga, lahir sebagai tanda jaman. Saat Ponorogo dilanda huru-hara (kekacauan, tidak aman) disebabkan terjadinya perseteruan antar kelompok masyarakat penganut msitik; kanuragan, ngelmu kasekten (ilmu kesaktian), sehingga mengarah pada pertikaian dan bahkan pembunuhan. Situasi tidak aman ini, selanjutnya melahirkan sebutan-sebutan atau istilah-istilah sebagai tanda jaman, dimana salah satunya istilah itu adalah reyog (berati riyeg, horeg, gonjang-ganjing). Seni Reyog yang lahir sesaat atau bersamaan dengan situasi tersebut mengambil ilustrasi semacam barongan (serumpun pohon bambu yang meliuk-liuk diterpa angin), hingga seolah-olah menggambarkan situasi kekacauan yang tengah terjadi dan melanda masyarakat saat itu.

Versi keempat, lahir sebagai lambang kemenangan Batharakathong atas Ki Ageng Kutu (Ki Demang Suryongalam). Dua binatang yang dipakai perangkat utama kesenian ini, dimaksudkan sebagai sebuah simbol dari dua karakter dua tokoh yang disebutkan. Harimau melambangkan perwatakan Ki Demang; penyerang, pemberontak, sedangkan burung merak melambangkan perwatakan Batharakathong; pembawa kedamaian, kesejukan, dan keindahan. Diduga pada saat itu juga tengah berlangsung proses islamisasi di Ponorogo yang dimobilisasi oleh Batharakathong, dengan satu bukti bahwa semenjak itu di atas kepala harimau (persis di paruh burung merak) ditambahkan kalung manik-manik semisal tasbih (alat menghitung bacaan dzikir)

Versi kelima, bertumpu pada mitos atau legenda. Legenda tentang lahirnya Reyog Ponorogo lebih dari satu jumlahnya, dimana kalau ditarik garis besar, semuanya mengandung falsafah atau tuntunan hidup yang diharapkan dapat menumbuhkan jiwa patriotik, sikap dan watak terpuji, dan sejumlah perilaku luhur yang lain.

Terlepas dari ragam sejarah Reyog Ponorogo, sebagaimana dipaparkan di atas, akan sangat arif manakala kita mau merenung sejenak untuk bersama-sama mengkritisi sejarah Reyog yang selama ini dipedomani. Sebagai falsafah atau tuntunan hidup bagi generasi bumi Reyog, sejarah yang berbau legenda memang cukup sarat makna. Namun, sebagai pembelajaran hidup bagi calon warok menuju pencerahan dan pencerdasan, akar sejarah Reyog Ponorogo yang bersifat ilmiah, sudah barang tentu juga sangat ditunggu kehadirannya. Baca Selengkapnya ...

Membangun Kreasi Seni Reyog Ponorogo

Published by ridokurnianto under on 23.15
Sejak pusat-pusat kebudayaan tradisional terpukul oleh perubahan kekuasaan dan patronnya oleh perubahan soaial dan ekonomi, maka sejak itu pula mengalami perubahan-perubahan paradigmatik. Dualisme budaya (kraton dan rakyat; budaya kota dan budaya desa) mulai mengabur, sekalipun keluarga kraton tetap menjadi narasumber dari kebudayaan tradisional. Jika ada perbedaan antara budaya desa dan kota dalam kebudayaan tradisional, sifatnya bukan lagi kategoris tetapi perbedaan kuantitatif biasa. Dan akhirnya dalam situasi seperti ini, kebudayaan tradisional, seperti dikatakan Kuntowijoyo (1999:29), menjadi sebuah sistem yang terbuka.

Dalam perspektif ini, budaya tradisional tidak lagi menjadi lambang status sosial, siapa saja yang mampu mengangkat dirinya secara ekonomis, sosial, dan intelektual, dapat menjadi bagian dari budaya tinggi. Lebih jauh, situasi keterbukaan itu melahirkan pola baru dalam profesionalisme kesenian tradisional. Pola pendidikan magang dalam pewarisan artistik digantikan oleh lembaga-lembaga pendidikan kesenian. Formalisme budaya kraton yang lama digantikan oleh formalisme plural dari lembaga-lembaga pendidikan kesenian. Dan penting untuk dicatat, bahwa dalam situasi seperti ini, lahir pula gejala baru yang disebut dengan "selera publik" yang sering mempunyai konotasi negatif. Selera publik , tulis Kuntowijoyo (1999:29) menjadi penyebab dekadensi, vulgarisasi, dan pencemaran budaya.

Nampaknya gejala formalisasi dan deformalisasi merupakan perkembangan yang dialektis dari suatu kebudayaan. Dalam perspektif seni Reyog Ponorogo, formalisasi bisa berupa pembakuan seni Reyog dalam kitab Pakem, dimana seluruh kreasi seni berikut hal-hal yang berhubungan dengan Reyog harus berpedoman pada pakem tersebut. Sedangkan deformalisasi berupa upaya-upaya untuk mengubah, memodifikasi, atau bahkan mengganti pakem tersebut.

Selera publik merupakan satu diantara pertimbangan bagi upaya pengubahan pakem, dimana faktor ini sering menyebabkan formalisme menjadi luntur, seperti lunturnya pakem pedalangan oleh munculnya cerita-cerita baru. Oleh karena itu, sebuah kebijaksanaan kebudayaan, terutama terkait dengan pengembangan kreasi seni Reyog ini ialah agar setiap upaya pengubahan, penyesuaian, ataupun penggantian itu justru menjadi dasar bagi tumbuhnya kreatifitas baru, sehingga akan mengantar seni adiluhung ini semakin kaloko, kawentar (dikenal dan digandrungi masyarakat luas), dan bukan untuk tujuan anarkhisme (pengembangan yang "ngawur") hingga membuat seni Reyog tidak memiliki makna apapun. Baca Selengkapnya ...