Assalamualaikum

PARA PERAIH BINTANG KEHIDUPAN

Published by ridokurnianto under on 23.06
Alhamdu li Allah Rabb al-‘Alamin, as-shalat wa as-salam ‘ala Rasulih al-karim, Muhammadin an-Nabiyy al-ummy wa ‘ala alih wa Sabih ajma’in. Asyhadu an la ilah illa Allah wahdah la syarika lah, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduh wa rasuluh. Allahumma shally wa sallim wabarik ‘ala Muhammad wa ‘ala alih wa ash habih ajma’in. Amma ba’d. Fa ya ikhwan al-kiram ! Ittaq Allah haqqa tuqatih wa la tamutunna illa wa antum muslimun.
Ma’asyir al-Muslimin !
Alhamdulillah, marilah kesyukuran yang tulus kita munajatkan kepada Allah SWT., semoga kita menjadi hamba-Nya yang terpilih sebagai kelompok orang yang menempati posisi terpuji di sisi Allah SWT. Semangat yang terus berkobar untuk menjadi hamba-Nya yang taat, mudah-mudahan terus terlahir dari buah kesyukuran yang tulus itu. Karena itu, melalui mimbar jum’at yang penuh barakah Allah ini, marilah kita semakin menguatkan dan meyakinkan diri kita masing-masing, bahwa ketaatan demi ketaatan kepada Allah yang kita rajut melalui mimbar jum’at di rumah Allah ini, akan membuahkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah menjadi semakin kokoh, sehingga andaikan Allah berkenan mencatat seluruh ketaatan yang kita lakukan, ketaatan-ketaatan itu akan mengantar kita menjadi pemenang kehidupan di sisi Allah SWT.
Ma’asyir al-Muslimin !

Akhir dari sebuah perjalanan hidup manusia di dunia ini hanya ada dua kemungkinan; mungkin menang dan mungkin kalah. Orang-orang yang tergolong pada kelompok pemenang kehidupan, sudah pasti-jaminan-akan beroleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup hingga di negeri akhirat. Demikian juga, orang-orang yang tergolong kelompok para kalah; kalah dalam kehidupan, sudah dipastikan akan beroleh penderitaan hidup hingga di negeri akhirat.
Jalan hidup yang harus di lalui oleh dua kelompok manusia itu; para pemenang dan para kalah dalam kehidupan ini; juga sudah sangat jelas; jalan lurus (sirath al-mustakim) untuk para pemenang, dan jalan kesesatan (sirath adh-dhalalat) untuk para kalah.
Ma’asyir al-Muslimin !
Untuk meraih kemengan dalam kehidupan itu, ternyata tidaklah mudah, karena posisi ini menuntut para pemenang tersebut untuk bekerja keras; tiada henti berkarya dan berprestasi dengan penuh ketulusan dan keikhlasan.
Allah SWT., memberikan juklak kepada para pemenang kehidupan itu, melalui firman-Nya di dalam QS. Al-Hajj: 77:
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’ kamu sekalian, sujud, dan sembahlah Tuhanmu, serta berbuat baiklah kamu, agar kamu sekalian menjadi pemenang”
Jadi, ruku’, sujud, beribadah, dan beramal shalih, itu merupakan sarana untuk meraih predikat para pemenang kehidupan. Semua itu, jelas membutuhkan semangat tinggi, kerja keras; lahir dan batin.
Ayat di atas, juga mengandung pelajaran dan petunjuk tentang pentingnya kaum beriman untuk memulai karya agung tersebut dengan intilaqan; mulai dari dirinya sendiri, memulai berkarya dan berprestasi unggul, berdasar potensi dan kekuatan diri yang telah diberikan Allah SWT sejak dari lahir.
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah sesuai dengan kesanggupan atau kemampuanmu.” QS. At-Taghabun: 16
Ma’asyir al-Muslimin !
Secara hakiki, dengan demikian, hak kemenangan hidup, hanya dimiliki oleh orang-orang yang beriman. Firman Allah, agar orang-orang beriman melakukan ruku’, sujud, beribadah, dan beramal shalih, menunjukkan kekhususan makna kemenangan itu. Artinya; hanya orang-orang yang beriman dengan sempurna saja, yang sanggup dan mampu menerima dan menjalankan perintah Allah tersebut; hanya mereka saja yang mampu melakukan ruku’, sujud, beribadah, dan beramal shalih.
Namun, harus diingat, bahwa di dalam semangat menjadi pemenang kehidupan itu; kaum beriman juga harus selalu waspada terhadap para musuh (orang-orang kafir), yang tiada berhenti mencari kesempatan yang baik untuk menghancurkan kaum beriman.
Dan, bersamaan dengan itu, sebenarnya musuh yang paling besar, justru berada di dalam dirinya sendiri, musuh yang berada di dalam diri mereka sendiri, terutama terkait dengan kondisi hati yang bolak-balik, kondisi hati yang labil. Dalam hal ini para ulama menyatakan;
“Iman itu bertambah karena taat, dan berkurang karena maksiat”
Oleh karena itu, menjaga keimanan di dalam dada, merupakan proyek terbesar bagi kaum beriman, agar keimanan yang telah tertanam di dalam dadanya itu bisa terawat dengan baik; bertumbuh dan berkembang setiap saat ke arah kualitas yang lebih baik.
Kondisi keimanan yang naik-turun, dan tuntutan bagi kaum beriman untuk menjaga dan merawat nya inilah yang menyebabkan Rasulullah SAW, berpesan kepada kita untuk senantiasa waspada dalam menghadapi dan menjalani seluruh aspek hidup dan kehidupan ini. Karena itu pula Rasul SAW., mengajarkan kepada kita agar selalu memohon pertolongan kepada Allah SWT., agar kita selalu dilindungi oleh-Nya dari segala macam malapetaka, terutama bencana terbesar; yakni tercabutnya keimanan dari dalam diri kita. Rasul SAW., juga berpesan agar kita selalu berdo’a di setiap kita memulai hari:
“Ya Rabb, kami memohon agar Engkau melindungi kami dari mendhalimi orang dan di dhalimi orang; dari menyesatkan orang dan disesatkan orang; dari menggelincirkan orang dan digelincirkan orang; dari membodohkan orang dan dibodohi orang; dari menghina orang dan dihinakan orang.”
Ma’asyir al-Muslimin !
Makna do’a tersebut, cukuplah menunjukkan pesan amat tegas, bahwa orang yang sanggup menahan diri dari berbuat; dhalim, sesat, pembodohan, penghinaan, merupakan hamba Allah yang selalu dekat dengan pesona Kasih dan Sayang Allah SWT.
Orang-orang dengan model demikian itu, bisa kita lihat cirri-cirinya dengan sangat jelas di dalam pribadi para ulama dan para shalih di setiap generasi Muslim; mulai jaman sahabat hingga jaman sekarang.
Para ‘alim dan para shalih itu telah mampu meraih bintang kehidupan, meraih sukses hidup dengan gemilang, melalui; ruku’, sujud, beribadah, dan beramal shalih, di setiap waktu dan kesempatan hidupnya.
Orang-orang unggul ini tak pernah bosan untuk memanfaatkan waktu hidupnya dengan sebaik-baiknya; mereka tiada bosan memanfaatkan waktu malamnya (yang banyak orang memanfaatkannya untuk istirahat dan tidur) untuk bermunajat; barasyik-maksyuk di dalam kesyahduan tahajjud. Di dalam kesyahduan cinta tulusnya kepada Rabb al-‘Izzat itulah mereka benar-benar merasakan guyuran rahmat dari Allah SWT., hingga dirinya berasa terbang ke langit; berada di dalam posisi tempat terpuji disisi Allah Yang Tinggi.
“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyanglah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” QS. Al-Isra’ (17): 79
Ma’asyir al-Muslimin !
Aktifitas ruku’ dan sujud yang dilakukannya dengan penuh khusu’ dan khudhu’ itu senantiasa mengobarkan semangat di dalam seluruh hari yang dilaluinya; untuk meraih kemenangan terbesar di medan pertempuran; memenangkan kehidupan di kedua negeri; dunia dan akhirat.
Orang-orang tersebut, benar-benar telah siap menghadapi kehidupan yang memang sarat dengan rintangan dan hambatan, sekaligus siap keluar sebagai pemenangnya.
Orang-orang yang memperoleh kemenangan di dalam kehidupan ini, adalah orang-orang yang dari pesona pribadinya senantiasa mengeluarkan emas, sekalipun mereka hidup di tengah-tengah kehidupan yang penuh dengan aroma bangkai kemaksiatan dan kemunkaran; seperti jaman yang saat ini kita menghadapinya ini.
Kemanfaatan…dan kemanfaatan, selalu memancar dari hidup dan kehidupannya, dan sudah tak terhitung lagi, orang-orang yang telah merasakan pesona anggun pribadinya; sampai-sampai orang-orang yang pernah berbuat dzalim kepada para shalih itu, merasa amat takjub, setelah melihat, bahwa setiap perbuatan dzalim yang ia lakukan tak terbalas dengan kedzaliman, melainkan malah dibalas dengan kebaikan dan kemanfaatan.
Para ‘alim dan para shalih itu, barangkali sangat pas sebagai subyek ilustratif dari tausyhiyat bijak Allahu yarham ; Hasan al-Banna;
“Jadilah kamu seperti pohon buah; manusia melemparinya dengan batu, tetapi pohon buah itu malah membalasnya dengan memberikan buahnya yang manis dan penuh manfaat.”
Subhanallah !
Juga dengan cahaya bijaknya itu, membuat bumi dimanapun ia berpijak, penuh dengan curahan barakah Allah SWT. Kemanfaatan…kemanfaatan…dan kemanfaatan…itulah yang senantiasa akan dilakukan oleh para alim dan para shalih; para peraih bintang kehidupan itu, hingga kematian menjemputnya dengan membawa kendaraan khusnil khatimah.
Mudah-mudahan Allah SWT., senantiasa memberikan petunjuk-Nya kepada kita sekalian dan kepada seluruh kaum beriman di semesta ini; baik mereka yang sudh mendahului kita maupun kita yang akan menyusul mereka; Mudah-mudahan kita akan bertemu di dalam kehidupan akhirat sebagai pemenang kehidupan disisi Allah SWT.
“Barak Allah li wa lakum fi al-Qur’an al-‘Adzim, wa nafa’any wa iyyakum bima fih min al-ayaty wa adzikr al-hakim wa taqabbal minny wa minkum tilawatah innahu huw as-sami’ al’alim. Wa qur Rabb ighfir wa ar-ham wa anta khair ar-rahimin.”


Baca Selengkapnya ...

ABRAR & FUJJAR; PILIHAN HIDUP MANUSIA

Published by ridokurnianto under on 22.17
Alhamduli Allah nahmaduhu wa nasta’inuhu wa nastaghfiruh, wa na’udzubi Allah min sururi anfusina wa sayyi’aty a’malina man yahdi Allahu fahuw al-muhtady wa man yudhlil fa lan tajida lahu waliyy am-mursyida. Asyhadu an-la ilaha illa Allah wahdahu la syarika lah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh. Allahumma fa shally wa sallim ‘ala Muhammadin wa ‘ala alihi wa ash habihi ajma’in. Amma ba’d. Fay a ikhwan al-kiram, ittaq Allah haqqa tuqatih wa la tamutunna illa wa antum muslimun.
Ma’asyir al-Muslimin !
Allah SWT berfirman di dalam QS. Al-Infithar: 13-14:
”Sesungguhnya orang-orang yang thaat (kepada Allah) berada di dalam surga yang penuh ni’mat, dan sesungguhnya orang-orang yang ingkar (kepada Allah) berada dalam neraka yang penuh siksa yang mengerikan“.
Secara tegas Allah SWT membagi kelompok manusia dalam dua jenis; kelompok taat dan kelompok ingkar. Bagi dua kelompok ini, pula, Allah telah mengabarkan dengan sangat jelas terkait dengan konsekuensi yang bakal diterima; bagi kelompok taat akan beroleh surga-Nya dan bagi kelompok ingkar akan beroleh neraka-Nya. Ketentuan surga dan neraka itu, ternyata tidak terbatas hanya di kehidupan akhirat, tetapi meliputi dan menyebar ke dalam seluruh proses kehidupan yang mengiringi manusia sebelum mereka benar-benar berada dalam alam akhirat. Konsekuensi pilihan hidup tersebut akan menyebar; (1) di alam dunia; (2) di alam transisi setelah kematian dan masa tunggu kiamat, yakni di alam barzakh; dan (3) puncaknya di alam akhirat yang abadi.
Di dalam kitab Al-Jawab al-Kafi, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, menulis keterangan ini: ”Kaliyan jangan mengira, bahwa apa yang dikatakan Allah di dalam QS. Al-Infithar: 13-14 itu hanya terbatas dan berlaku hanya di kehidupan akhirat saja, tetapi ketentuan itu berlaku di tiga alam; alam dunia, alam barzakh, dan alam akhirat.”

Ma’asyira al-Muslimin !
Surga Allah yang diterima oleh orang-orang yang taat dan neraka-Nya yang ditimpakan kepada orang-orang yang ingkar, lebih berorienasi kepada rasa; rasa hati, rasa jiwa. Orang-orang taat senantiasa akan merasakan kedamaian hati, ketentraman jiwa di semua alam kehidupan. Sementara, orang-orang ingkar akan senantiasa merasakan kecemasan hati, suasana jiwa yang selalu tertekan, juga di semua alam kehidupan. Tidak bisa merasakan nikmatnya hidup di alam dunia, melebihi orang-orang yang taat kepada Allah SWT. Rasulullah SAW memang pernah bersabda:
“Dunia itu menjadi penjara bagi orang-orang beriman dan menjadi surga bagi orang-orang kafir.” (HR. Muslim)
Hadis ini tidaklah berarti, bahwa orang-orang yang taat kepada Allah, akan memperoleh kehidupan yang menderita, disebabkan hidupnya yang lekat dengan kekurangan dan kemiskinan. Dan karena itu pula, tidak perlu disikapi dengan sikap hidup fatalis. Kanjeng Rasul SAW telah memberikan bukti dan contoh riil, sikap hidup yang mesti ditampilkan oleh kaum beriman; orang-orang yang taat kepada Allah SWT., sebagaimana dipaparkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab “Fath al-Barr” Syarah Shahih Bukhari ;
“Suatu hari, dengan memakai busana yang layak (untuk tidak mengatakan mewah), Rasulullah mengendarai seekor baghal (sejenis kuda berukuran kecil) yang tergolong gagah. Di tengah perjalanan, Beliau berpapasan dengan seorang Yahudi penjual minyak samin. Pakaian yang dikenakan kelihatan berlepotan minyak, kumuh, kotor, hingga kelihatan hidupnya sangat susah diderita kemelaratan. Si Yahudi itu nampaknya penasaran dengan gaya hidup Rasulullah yang barusan ia temui di tengah perjalanan, lantas ketika ia ketemu Ibnu Hajar, ia ungkapkan rasa penasarannya itu: Ia bertanya kepada Ibu Hajar: “Apa tidak keliru apa yang dikatakan oleh Nabimu, bahwa dunia itu penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir? Kenapa saya yang kafir tidak menemui surga tetapi malah sengsara seperti yang tuan lihat ini, sementara tuan yang termasuk orang beriman bisa hidup makmur, memiliki harta benda yang cukup untuk hidup enak di dunia ini ?
Pertanyaan dan kegelisahan tukang minyak itu dijawab dengan sangat jelas oleh Ibnu Hajar: “seenak-enaknya hidupku di dunia ini, tetaplah menjadi penjara bagiku, apabila dibandingkan dengan kenikmatan yang disediakan oleh Allah untuk orang-orang beriman di akhirat kelak, sebabnya adalah karena kenikmatan dunia sama sekali tidak sebanding dengan kenikmatan akhirat. Kata Rasulullah: “Sungguh, tempat cemeti di surga itu lebih baik dan indah dibandingkan dengan dunia dan isinya”. Sementara kamu, wahai Yahudi ! (lanjut Ibnu Hajar), “sesengsara-sengsaranya hidupmu di dunia ini, itu sudah layaknya surga jika dibandingkan dengan beratnya siksaan Allah yang telah dijanjikan untukmu nanti jika kamu mati dalam keadaan kafir”.
Ma’asyir al-Muslimin !
Mendengar jawaban dan penjelasan Ibnu Hajar al-Asqalani, tukang minyak samin yang kafir itu merinding (sangking takutnya), ia bergumam di dalam hati:”jika surgaku saja sudah seperti ini, terus seperti apa nerakaku di akherat nanti“. Akhirnya ia melakukan ikrar syahadat; ”Asyhadu an la ilaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad ar-Rasul Allah” , ia masuk Islam dengan penuh ketulusan.
Jadi, makna penjara bagi kaum beriman ketika hidup di dunia – ”ad-dunya sjn al-mukmin”- adalah karena mukmin terhalang untuk melampiaskan nafsunya, melampiaskan syahwatnya di tempat-tempat yang diharamkan Allah SWT. Disamping itu, orang-orang beriman, juga dibebani untuk menunaikan ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT. Jelas, orang-orang yang ingkar, akan memandang dan merasakan bahwa pengekangan nafsu dan pembebanan ketaatan yang diperuntukkan bagi kaum beriman itu, akan menjadi sebuah kesengsaraan dan penderitaan, atau bahkan penyiksaan. Tetapi tidak demikian apa yang dirasakan kaum beriman, justru didalam pengendalian nafsu dan syahwat dan ketundukannya kepada Allah itulah, kelezatan hidup menyertai kaum beriman. Betapa tidak, orang-orang beriman itu telah mampu menempatkan diri dan hidupnya di dalam kerangka fitrahnya sebagai manusia yang suci dan taat kepada Sang Rabb semesta ini. Dan harapan keberuntungan abadi akan menjemputnya, setelah ia kembali kepada Allah SWT.; segala ketaatan yang telah dilakukan kaum beriman di alam dunia, akan diganti oleh-Nya dengan kenikmatan yang kekal, kebahagiaan yang tiada habis;
Ma’asyir al-Muslimin !
Yang perlu kita pahami dengan sebaik-baiknya adalah, bahwa ketika kaum beriman tidak bebas melakukan perbuatan sesuka hatinya; menurut keinginan nafsu dan syahwat liarnya, bukan berarti hatinya terbebani, menderita dan tersiksa. Tak ada kebahagiaan melebihi apa yang dirasakan kaum beriman. Begitu nikmat rasanya, saat kita tengah bermunajat, berdialog dengan Allah SWT di dalam shalat, di keheningan tahajjud, di dalam lantunan suci zikr Allah, kebahagiaan yang menyebar di setiap amal shalih yang dilakukannya.
Itulah sebabnya, saat Allahu Yarham Ibnu Taimiyah dijeblosaken ke dalam penjara oleh pemerintahan kafir, dengan penuh suka cita, beliau menyatakan: “Apa yang dilakukan oleh para kafir kepadaku, yang mereka kira siksa untukku, malah menjadi surga bagiku. Jika aku dipenjara, bagiku itu menjadi sarana untuk berkhalwah (kesempatan untuk mendekat dan lebih dekat kepada Allah, dengan tidak lagi terganggu oleh kesibukan dan keramaian), kalau aku di usir, itu berarti tamasya di surga-Nya, dan ketika aku dibunuh, berarti itu syahid bagiku.”
Ma’asyir al-Muslimin !
Logika dari pernyataan Ibnu Taimiyyah, sangat bisa dimaklumi, ketika kita pakai dalam perspektif keimanan, sebab, sekali lagi, kenikmatan yang hakiki sebenarnya bertempat di dalam hati, dan sangat beda dengan kenikmatan atau kesenangan yang sifatnya nisbi (tidak kekal, berlaku sesaat), seperti; lezatnya makanan, nikmatnya berzina, segarnya khamr, dimana kalau itu sudah berlalu, sudah sama sekali tidak bisa dirasakan kelezatan dan kebahagiaannya.
Sementara, nikmat hati yang dirasakan kaum beriman, akan dirasakan terus-menerus tiada batas, baik ketika sesuatu itu masih di niatkan, kemudiaan akan semakin kuat saat sesuatu yang diniatkan itu dilakukan, dan akan semakin dahsyat saat perasaan bahagia itu terukir dan memberikan pengaruhnya ke dalam seluruh hidup dan kehidupannya. Itulah yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah; “Di dunia ini ada surga, siapa yang tidak bisa masuk ke dalam surga itu, maka ia takkan pernah bisa masuk ke dalam surga yang kedua (surga Allah di akhirat).”
Itulah nikmat dunia yang diperuntukkan bagi kaum taat, sebelum mereka menerima kenikmatan akhirat; kenikmatan tiada tara, kenikmatan yang tak pernah terbayangkan disebabkan bobot nikmatnya yang serba luar biasa; diluar akal dan apapun yang ditemui oleh manusia selama kehidupan di dunia; sementara di dalam kenikmatan tiada di surga Allah ini akan terjadi dan dirasakan kaum beriman, kaum taat, dengan tanpa batasan waktu; kekal abadi di dalamnya; “khalidan, khalidan fiha.”
Ma’asyir al-Muslimin !
Jika sekiranya ada orang yang mengira bahwa di dalam kehidupan yang bebas, kehidupan berfoya-foya, kehidupan yang melanggar aturan Allah, aturan agama Islam; itu penuh kenikmatan ; pastilah pandangan ini sangat keliru, salah total !
Siapapun yang mencintai sesuatu selain Allah, berbuat sesuatu bukan karena Allah, mencari kenikmatan di jalan selain jalan Allah, sebenarnya yang terjadi adalah: mereka tersiksa dengan semua yang dilakukannya itu; ia tersiksa di kehidupan dunia ini; hatinya tiada henti merasa gelisah, cemas, sebelum dirinya mendapat siksaan yang lebih mengerikan di alam barzakh dan terlebih di alam akhirat kelak.
Ma’asyir al-Muslimin !
Jangan sampai kita tertipu oleh penampilan orang, jangan sampai terkecoh dengan gaya hidup seseorang, yang sebenarnya secara batini sangat berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi. Jangan sampai kita terkecoh oleh gelak tawa dan kehidupan bebas para ingkar di dalam melampiaskan nafsu dan syahwatnya. Karena yang terjadi sebenarnya, para jago maksiat itu, tengah berada di dalam perjuangan yang penuh dengan siksaan dan penderitaan batin. Mereka tengah menghadapi dan mengalami siksaan Allah 3 lapis yang bertubi-tubi menghampiri dan menimpanya; semakin waktu semakin siksaan itu terasa menyakitkan dan mengerikan:
(1)saat para ingkar itu tengah berjuang mencari kenikmatan hingga ia berhasil menemukan apa yang mereka cari, maka saat itu juga sebenarnya mereka merasakan hatinya remuk, menahan tekanan batin yang menyesakkan dada. Betapa tidak, begitu ia temukan satu keingkaran, saat itu juga noda hitam telah terukir di hatinya “al-itsm ma haka fi shadrik”- “dosa (kata Rasulullah) adalah sesuatu yang menyebabkan dadamu (hatimu) menjadi cemas, menjadi tertekan.”
(2)Para pezina, para pemabuk, para pencuri, dan para penentang kethaatan kepada Allah, sebenarnya tidak lain adalah orang-orang yang kebingungan mencari kenikmatan, dan bukan orang-orang yang bisa merasakan kenikmatan. Jadi, dengan demikian, bisa dipahami, bahwa, kalaulah Allah membiarkan para duraka itu berhasil mendapatkan kenikmatan yang mereka buru, maka bersamaan itu pula, dalam hitungan detik, keberhasilan itu akan berubah menjadi perasaan cemas dan takut; kecemasan dan ketakutan yang sangat hebat. Para ingkar itu mengalami tekanan batin yang sangat hebat, yang disebut “hamm”- sebuah perasaan ketakutan yang berlebihan, akan kehilangan kenikmatan sesaat itu, dan yang jelas, mereka akan merasakan ketakutan tiada terperi akan memetik aksi ingkarnya dihadapan Allah SWT di yaum al-akhirat.
(3)Para duraka itu akan mengalami apa yang disebut “huzn” – “kesedihan” yang tiada batas akhirnya; sedih karena kehilangan kenikmatan, dan itu pasti terjadi karena sebab yang sangat pasti; kemungkinan (1) kenikmatan itu akan hilang karena direbut oleh orang lain, dan kemungkinan (2) yang jelas kenikmatan itu akan hilang karena ditelan oleh kematian yang menjemputnya. Padahal, tiada kesedihan paling mengerikan, kecuali menghadapi pedihnya neraka jahim di akhirat. “naudzu billah min ndzalik.”
Ma’asyir al-Muslimin !
Mudah-mudahan kita dijauhkan dari hati yang ingkar kepada Allah SWT., dalam bentuk apapun dan sekecil apapun. Mari kita senantiasa memohon kepada Allah SWT (bersamaan dengan ketaatan yang kita jaga), mudah-mudahan Allah SWT senantiasa memberikan hidayah-Nya kepada kita; sehingga ketaatan kita kepada-Nya akan berbuah manis; kita memperoleh surga-Nya baik di dunia, di alam barzakh, dan terutama alam akhirat nanti; “rabbana atina fi al-dunya hasanah wa fi alakhirat hasanat wa qina ‘adzabg an-nar.”
Barak Allah ly wa alkum fi al-Qur’an al-‘Adhim wa nafa’any wa iyyakum bima fih min al-ayat wa adz-dzikr al-hakim wa taqabbal minny wa minkum tilawatah innahu huw as-Sami’ al’Alim. Wa qul Rabby ighfir wa arham wa anta khair ar-rahimin.
Baca Selengkapnya ...

KEJUJURAN

Published by ridokurnianto under on 21.23
Alhamdul Allah Rabb al-‘alamin, as-shalat wa as-salam ‘ala rasulih al-karim wa ‘ala alihi wa ash habihi ajma’in.Asyhadu an-la ilaha illa Allah wahdahu la syarika lah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh. Allahumma shally wa sallim ‘ala Muhammadin wa ‘ala alihi wa a sh habihi ajma’in Wa ba’d. Fa ya ‘ibad Allah ushiny wa iyyakum bi at-taqw Allah wa tha’atih la’allakum tuflihun.
Ma’asyir al-Muslimin !
Alhamdulillah, mari kita munajatkan kesyukuran yang tulus kehadirat Allah SWT., atas semua rahmat yang telah Allah curahkan kepada kita, seraya berharap kepada-Nya agar kita dijadikan hamba-Nya yang pandai mensyukuri nikmat dan karena itu Allah jadikan hati kita semakin dekat kepada Allah, semakin peka untuk menerima hidayah-Nya; mampu dengan mudah menangkap kebajikan dengan segala jenis dan bentuknya sekaligus merasa ringan dan tulus mengamalkannya; kita juga mampu menangkap keburukan, kejelekan dengan segala jenis dan bentuknya sekaligus mampu menahan dan menjauhinya.

Ma’asyir al-Muslimin !
Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu masuk golongan orang-rang yang jujur” (QS. At-Taubah (9): 119)
Ketika menginjak dewasa, Muhyidin Abdul Qadir al-Jilani (seorang anak muda yang nantinya tumbuh menjadi seorang ulama dan tokoh sufi besar dunia), dikirim oleh orang tuanya ke negeri Bagdad (Irak) untuk keperluan thalabul ilmi, menempuh pendidikan tinggi di Madrasah Nizamiyah, beliau berangkat bersamaan dengan rombongan kafilah dagang. Dalam perjalanan rombongan kafilah itu dicegat oleh begal. Satu per-satu anggota rombongan dirampas harta benda yang dibawanya. Dan ketika sampai giliran anak muda yang oleh ibunya hanya dibekali dengan bekal seadanya itu, para garong itu tidak menemukaken sesuatu apapun, kecuali hanya peralatan tidur serta beberapa pakaian kumal.
Apakah kamu membawa sesuatu? Pertanyaan seorang begundal dengan galak. ”ya,betul tuan, aku membawa uang sebesar 40 dinar”, jawab sang pemuda. Tetapi saat para begal itu melakukan penggeledahan di dalam peralatan tidur dan pakaian kumal tersebut, dia tidak menemukan apapun. Para begal yakin bahwa anak tersebut hanyalah seorang anak miskin yang sombong. Karena itu para begal meninggalkannya, dan seterusnya mereka menggeledah harta benda milik anggota rombongan yang lain.
Singkatnya, setelah para begal sudah selesai merampas semua harta milik para kafilah, kawanan begal tersebut melapor kepada pimpinan gengnya, ihwal pemuda miskin yang dinilai berlagak kaya dan sombong tersebut. Pimpinan geng nampaknya sangat tertarik dengan cerita itu hingga akhirnya minta kepada seorang anak buahnya untuk membawa sang pemuda yang menurut penilaiannya unik tersebut untuk menghadap padanya.
Begitu berada didepannya, pimpinan begal langsung bertanya: ”Hei,anak muda! Katanya kamu mempunyai uang sebesar 40 dinar ?” , Dengan begitu tenangnya sang pemuda menjawab: Ya, benar tuan!, ”kalau benar coba tunjukkan kepadaku !” Pemimpin garong membentak-bentak nampak tidak sabar. Sang pemuda kemudian mengoyak bagian bajunya terus mengeluarkan uang sebesar 40 dinar (persis seperti yang dia sampaikan) yang memang disimpan dibalik bajunya. Para begal termangu, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Begitupun sang pemimpin begal, dengan dipenuhi sejuta rasa heran dan takjub, dia bertanya: ”kenapa kamu tunjukkan harta bendamu yng sangat berharga bagi hidupmu?” Toh, andaikan kamu tidak menunjukkannya padaku, aku juga tak akan curiga”.,
Ma’asyir al-Muslimin !
Sang pemuda menanggapi pertanyaan tersebut dengan sangat enteng: ”Betul tuan, Cuma aku takkan pernah bisa melupakan nasehat ibuku (ya, orang tuaku yang telah memberikan bekal uang 40 dinar ini dan beliau jahitkan dibalik bajuku ini tadi demi keamanan), beliau berpesan begini; ”anakku! Sekali-kali jangan sampai kamu berdusta kepada siapapun.”
Allahu Akbar!
Pemimpin begal, seolah-olah mendapatkan tamparan keras, menerima smash telak mendengar keterangan yang begitu jujur dan polos dari sang pemuda itu. Bukan kemarahan, bukan emosi yang terjadi pada diri sang begal, melainkan keharuan yang begitu dalam. Pemimpin begal yang kejam dan bengis tersebut menangis, tidak kuasa menahan haru yang begitu menoreh kalbu. Dia kemudian bergumam pada dirinya sendiri: ”Anak muda ini dalam kondisi kritis berhadapan dengan kawanan yang mau merampas harta miliknya yang paling berharga saja masih setia, taat kepada orang tuanya, sedangkan aku...jangankan taat kepada orang tuaku, kepada Tuhan yang telah menciptakan diriku saja, aku tak pernah mau taat”
Subhanallah! Begitu dalam pengaruh peristiwa itu menghunjam hati sanubari, Pemimpin perampok dan kemudian diikuti oleh semua anak buahnya, serta merta mengembalikan seluruh harta benda yang telah mereka rampas dari rombongan kafilah dagang tersebut, mereka bertaubat kembali ke jalan yang lurus, jalan Allah SWT.
Ma’asyir al-Muslimin !
Dalam Ihya ’Ulumuddin (karya Imam Ghazali; Allahu yarhamhu, dikisahkan ada seorang tabi’i (generasi setelah sahabat), di Basrah berprofesi sebagai saudagar kaya raya. Ia mengirim memo kepada seorang pelayannya agar memborong gula; (memonya kurang lebih begini)”cepat beli gula karena panen tebu tahun ini terancam gagal”. Pelayan yang ditunjuk segera memborong gula dalam jumlah besar dari seorang tengkulak. Dan tabi’i itupun beruntung sampai 30.000 dirham (sebuah keuntungan yang cukup fantastis).
Namun malam harinya, semalaman ia berpikir dalam suasana cemas gundah. Dalam hatinya ia berkata: ”Saya untung 30.000 dirham, tetapi sekaligus saya telah rugi besar, karena tidak jujur kepada orang”. Esok harinya, ia mendatangi pedagang gula dan mengembalikan semua keuntungan yang diperolehnya kepada tengkulak tersebut. Ia berkata sambil memberikan uang: ”semoga Allah memberkati kamu dengan uang ini, terimalah!”.
”Dari mana uang sebanyak ini tuan ?” tanya tengkulak. Jawabnya: ”Saya telah menyembunyikan sesuatu darimu”. Terus terang, ketika saya memborong gula darimu tempo hari, harganya sebenarnya sudah naik. Tuan menjual ke saya dengan harga jauh lebih rendah”.
”Semoga Allah merahmati tuan, sekarang saya sudah tahu. Jadi dengan senang hati saya berikan kembali kepada tuan”. Kata tengkulak sambil memberikan uang yang sebenarnya sudah diserahkan dengan tulus oleh saudagar tadi.
”Wah, kalau begitu saya sampaikan terimakasih, saya terima kembali ung ini”
Tetapi sesampai di rumah, pikiran saudagar tadi kacau kembali. ”Saya tidak jujur kepadanya”, mungkin saja ia malu menerimanya, hingga mengembalikan uang yang saya berikan”. Esok harinya sudagar tadi datang ke pedagang gula lagi. ”Semoga Allah memberimu kesehatan. Ambillah uang ini, ini hak tuan sepenuhnya, terimalah agar hati saya tenang.”
Ma’asyir al-Muslimin !
Masih dari Al-Ghazali, dikisahkan, Yunus bin ’Ubaid menjual berbagai macam pakaian. Diantaranya ada yang harganya 400 dirhan dan 200 dirham. Saat ia pergi ke Masjid, ia meminta sepupunya agar menjaga tokonya. Datanglah seorang Badui yang ingin membeli pakaian seharga 400 dirham. Sepupu Yunus keliru memberikan pakaian yang seharga 200 dirham. Dalam perjalanan pulang, Badui berpapasan dengan Yunus, dan serta merta Yunus tahu kalau baju yang dibawa Badui berasal dari tokonya. ”Berapa tuan beli pakaian ini?” tanya Yunus. ”400 dirham” jawab Badui. Kata Yunus; ”lo ini hanya seharga 200 dirham, mari kembali ke toko, biar saya kembalikan kelebihannya”. Tapi Badui malah memberikan keterangan: ”Di kampung kami baju seperti ini seharga 500 dirham, jadi sudahlah, saya sudah rela kok”. Yunus tetap bersikukuh: ”Mari kembali! Kejujuran lebih baik daripada dunia dan isinya.”
Hadirin !
Kisah Abdul Qadir muda dan dua kisah lainnya di atas, bukanlah sebuah epos, yang umumnya dimonopoli kaum bangsawan (kaum borjuis). Itu cerita orang biasa yang masih percaya pada nilai-nilai kejujuran, ketulusan, meskipun kebanyakan orang sekarang melihatnya sebagai tindakan bodoh.
Dari riwayat Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda:
”Jika seorang hamba tetap bertindak jujur dan berteguh hati untuk bertindak jujur, maka ia akan ditulis di sisi Allah Ta’ala sebagai orang yang jujur. Dan jika ia tetap berdusta dan berteguh hati untuk berbuat dusta, maka ia akan ditulis Allah sebagai pendusta. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Ma’asyir al-Muslimin !
Suatu ketika, Rasul SAW pernah ditanya:
”Wahai Rasul Allah!Apakah orang mukmin bisa menjadi seorang penakut? Beliau menjawab; ”ya, bisa, Beliau ditanya lagi: ”Apakah orang mukmin bisa menjadi seorang yang kikir?”, Beliau menjawab: ya, bisa., Ketika beliau ditanya: ”Apakah orang mukmin bisa menjadi seorang pendusta?”., Beliau menjawab: ”Tidak” (HR. Imam Malik)
Semakin seseorang berdusta, semakin besar pula dosanya kepada Allah SWT.;
”Di suatu malam aku bermimpi bertemu dengan dua orang yang mendatangiku. Salah satu dari mereka berkata kepadaku: ”Yang tuan lihat orang yang banyak ngomongnya itu adalah pendusta! Dia sedang cerita kebohongan yang dampaknya akan menyebar ke segala penjuru.Disebabkan oleh kebohongan itu dia akan memikul dosana hingga datangnya hari kiamat.” (HR. Bukhari)
Sementara di mata para malaikat, dusta, bohong ternyata sangat-sangat menjijikkan, sampai-sampai digambarkan laiknya seonggok bangkai.
”Ketika seseorang berdusta, malaikat menjauh dari pendusta itu disebabkan mereka (para malaikat) tidak tahan dengan bau busuk (bau bangkai) yang berasal dari dustanya tersebut.” (HR. Tirmidzi)
Ma’asyir al-Muslimin !
Berkata yang benar, jujur, akan mendorong pelakunya (orang yang bersangkutan) untuk berbuat benar dan jujur, serta menjadikannya selalu baik dalam segala keadaan. Berhati-hati di dalam menjaga kejujuran akan memancarkan cahaya terang di dalam hati dan pikiran. Karena itulah Allah SWT berfirman:
”Wahai orang-orang yang ber iman,hendaklah kamu bertakwa kepada Allah dan hendaklah kamu berkata dengan perkataan yang benar (jujur). Maka Allah akan memperbaiki amal kalian dan memaafkan dosa kalian. Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia memperoleh keuntungan yang sangat besar.” (QS. Al—Ahzab: 70-71)
Ma’asyir al-Muslimin !
Rasulullah SAW telah mengajarkan mengajarkan kepada para orang tua tentang cara mengasuh anak. Sebuah asuhan dan pendidikan yang wajib dititikberatkan pada kebiasaan berkata benar, dengan tujuan, supaya para putra (anak) itu terjauhkan dari kebiasaan berdusta, kebiasaan berbohong. Bilamana seorang ibu (atau anggota keluarga yang lain) sudah menganggap remeh sebuah kedustaan, kebohongan kepada anak-anaknya (atau anggota keluarga yang masih berusia kecil), maka besar kemungkinan, saat para anak tadi tumbuh dewasa memiliki kebiasaan memandang kebohongan, kedustaan sebagai sebuah hal, sebuah masalah yang remeh dan biasa. Akibatnya, kita bisa membayangkan; disamping keadilan dan ketentraman hidup takkan pernah bisa ditegakkan, disisi lain, disisi Allah SWT kebohongan, kedustaan adalah dosa yang teramat besar.
”Barang siapa mengucapkan kepada anak; ”Ayo,ini untukmu,kemudian ia tidak memberikan apapun kepada anak, ucapan itu termasuk kebohongan.” (HR. Imam Ahmad bin Hambal)
Yang perlu kita cermati, kejujuran itu ternyata tidak bersifat kondisional, angin-anginan, tetapi didasarkan dan disandarkan pada suasana hati yang tulus. Semakin iman kita kepada Allah mapan, maka berarti semakin kita tumbuh sebagai hamba-Nya yang jujur. Mari kita bangun kejujuran, kita sebarkan kejujuran di segala kesempatan; baik melalui ucap, sikap, dan tindak kita. Kita bangun budaya jujur dalam diri kita, keluarga kita, dan masyarakat kita. Mudah-mudahan Allah SWT segera mengembalikan masyarakat dan negeri tercinta ini menjadi masyarakat dan negeri yang senantiasa beroleh rahmat serta barakah Allah SWT. ”Rabbana atina fi ad-dunya hasanah wa fi al-akhirat hasanat wa qina ’adzab an-nar.” Wa qul Rabb Ighfir wa irham wa anta khar ar-rihimin.”
Baca Selengkapnya ...

PENCITRAAN PEREMPUAN DALAM KASUS PERUBAHAN PELAKU JATHIL DARI LAKI-LAKI MENJADI PEREMPUAN PADA SENI REYOG PONOROGO

Published by ridokurnianto under on 23.28
Dalam aktifitas seni Reyog Ponorogo, jathil berperanan penting terhadap keberlangsungan seni reyog itu sendiri. Peran utamanya sebagai penari jathil (penari kuda kepang), menyebabkan kesenian ini menjadi hidup, terutama dari aspek estetisnya. Gerakan-gerakan indah serta tarian-tariannya yang lembut, menyuguhkan sajian yang cukup menarik. Dari aspek inilah seni reyog ini tidak jarang memberikan stressing (fokus tekan) pentasnya sebagai inti pertunjukan atau pentas pada penari jathil tersebut. Sesuatu yang menarik dalam kasus perubahan penari jathil menjadi perempuan, bahwa jathil perempuan dari waktu ke waktu telah secara terang-terangan menjadi trend pengembangan seni Reyog Ponorogo, dan telah disambut dengan “tanpa beban” oleh kebanyakan (untuk tidak mengatakan seluruh) konco reyog. Dan yang lebih menarik lagi adalah kemungkinan munculnya resiko psikologis, sosial, maupun fisik yang akan dialami oleh penari jathil perempuan yang kesemuanya mengarah kepada perlakuan diskriminatif dan eksploitatif.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: (1) Ingin mendeskripsikan sejarah jathil dalam kesenian Reyog Ponorogo, baik dalam perspektif klasik maupun kontempoper; (2) Ingin mendeskripsikan konsepsi jathil pada seni Reyog Ponorogo berikut perubahan pelakunya dari laki-laki menjadi perempuan; (3 Ingin mendeskripsikan pencitraan terhadap perempuan dalam kasus perubahan pelaku jathil pada seni Reyog Ponorogo

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, mengacu kepada pemikiran Max Weber yang mengatakan bahwa, pokok penelitian bukanlah kepada gejala-gejala sosial, tetapi lebih menekankan kepada memahami makna-makna yang terkandung dibalik tindakan individu yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut (Istibsyaroh, 2004:14). Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif melalui proses induksi-interpretasi-konseptualisasi. Proses analisis dalam penelitian ini telah dimulai sejak peneliti menetapkan fokus permasalahan, dan lokasi penelitian, kemudian menjadi intensif ketika turun ke lapangan. Data dalam catatan lapangan akan dianalisis dengan cara melakukan penghalusan bahan empirik yang masih kasar ke dalam laporan lapangan. Selanjutnya peneliti akan melakukan penyederhanaan data menjadi beberapa unit informasi yang rinci tetapi sudah terfokus dalam ungkapan asli responden (indigenous concept) sebagai penampakan perspektif emiknya. Dengan demikian, laporan lapangan yang detil (induksi) menjadi data yang mudah dipahami, dicarikan makna, sehingga ditemukan pikiran apa yang tersembunyi dibalik cerita responden (interpretasi) dan akhirnya dapat diciptakan suatu konsep (konseptualisasi). Proses analisis akan berjalan melalui kategorisasi atau konseptualisasi data yang terus digali, sambil membandingkan dan mencari hubungan antar konsep sampai melahirkan hipotesis-hipotesis. Proses ini akan bergerak tidak secara linier lagi, tetapi berputar secara interaktif antara satu konsep dengan konsep yang lain, atau antara kategori satu dengan yang lain. Proses ini juga akan bergerak sejak awal pengumpulan data, bekerja secara simultan, semakin kompleks atau rumit, tetapi sekaligus semakin mengarah pada proses munculnya hipotesis dan sampai titik tidak terdapat lagi informasi baru (Hamidi, 2004:80-81)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa; (1) Pada awalnya perubahan jathil pada seni Reyog Ponorogo hanya semata untuk memenuhi permintaan pentas dari Jakarta dalam acara Pekan Raya Jakarta, kemudian setelah pentas tersebut jathil perempuan menjadi trend yang diikuti oleh hamper seluruh group Reyog Ponorogo; (2) Pentas jathil perempuan pada acara Pekan Raya Jakarta telah melahirkan konsep tari jathil obyog (pertunjukan tari jathil dengan tarian lepas dalam arti tidak terikat oleh aturan baku tari jathil yang disebut pakem reyog Ponorogo dan sekaligus melahirkan seni pertunjukkan Reyog Ponorogo versi baru yang disebut Reyog Obyog; (3) Pentas jathil perempuan pada seni pertunjukan Reyog obyog telah melahirkan perlakuan tidak adil terhadap kaum perempuan yang mengarah pada perlakuan diskriminatif dan eksploitatif. Bentuk-bentuk perlakuan tidak adil itu, meliputi; pelecehan seksual melalui momentum saweran (kesempatan bagi penonton laki-laki untuk menari bersama sambil memberikan uang dalam jumlah tertentu dengan cara menyentuh bagian tubuh penari jathil) ; pemaksaan tunduk kepada laki-laki melalui tari edreg (penari jathil memberikan hadiah berupa sikap menawan kepada penari barongan dan ganongan setiap usai memperagakan aksinya); pelekatan cap perempuan murahan kepada jathil perempuan disebabkan oleh model dandanan (menor atau lebih menekankan dandanan cantik hingga terkesan sebagai perempuan penggoda; dan bahkan cap pelacur baginya disebabkan pola penjemputan dan pengembalian yang berganti-ganti orang dan dengan waktu yang tidak terjadwal yang terkadang tidak sesuai dengan waktu berkunjung yang dipedomani oleh lingkungan masyarakat tempat tinggal jathil yang bersangkutan, baik saat latihan maupun pentas.
A WOMEN IMAGE IN THE CASE OF JATHIL DANCER CHANGING FROM THE MAN INTO THE WOMEN OF REYOG PONOROGO
In an art activity of Reyog Ponorogo, a jathil has an important role toward the reyog continuity itself. His principal role as the jathil dancer (kuda kepang dancer), causes this art live, especially in the aesthetic aspect. His beautiful movements and his tender dancers show an interesting performance. From this aspect, reyog often gives stressing on its performance as the substance of the show or the case of jathil dancer changing into woman, that a woman jathil from time to time has become a trend of Reyog Ponorogo developing clearly, and it has been welcome by most public (although not all) of reyog collegue without any burden. An is more interesting that is possibity of psychological, social, and physical appearance gotten by the woman jathil dancer that all tend toward the exploitative and discriminative treatment.
This study was conducted with the purposes as: (1) to describe the history of jathil in Reyog Ponorogo, whether in the classical or contemporer perspective; (2) to describe the concept of jathil in Reyog Ponorogo with the changing of is dancer from man into woman; (3) to describe the image of woman in the case of this changing.
It used the approach of qualitative, as it nefers to Max Weber’s theory said that the research principle is not only for social phenomenon, but emphasizes more in understanding the meanings behind the individual actions that push the creation of those phenomenon (Ibtisyaroh, 2004:14). The data analysis technique in this research is qualitative descriptive through induction-interpretation-conceptualisation process. The analysis process has been started since the writer stated the problem focus, and the research location, and then become intensive when he came down in the research field. The research field record would be analyzed by softening the empirical material into the field report. Next, the writer would simplity the data into several detaited in formation unit but it was focused in the original respondent expression (indigenous concept) as the perspective appearance. So that the detailed field report (induction) become the data easily understood, the meaning found to know what thoughts behind the respondent’s story (interpretation) and finally a concept can be created (conceptualism). The analysis process will go on through categorization conceptualism of data that was dug continually while it was compared and the inter concept relation found until it created hypothesis. This process also would move since the beginning of the data collection, worked simultaneously, more complicated, but it also tended toward the process of hypothes creation, come in the point thet there was not more information (Hamidi, 2004:80-871)
That result of the research showed thet: (1) the earlier changing of jathil is only for fulfilling the performance order from Jakarta in Jakarta Fair, and then after the show, the woman jathil became a trend followed by almost all Reyog Ponorogo Group; (2) the woman jathil show in Jakarta Fair has created a concept of jathil obyog dance (the show of jathil with a free dance means it is not depended on the basic rules of jathil called as pakem Reyog Ponorogo) and it also created the art show new version Reyog Ponorogo called Reyog Obyog; (3) the show of woman jathil in Reyog Obyog has creater on unfair treatment toward the woman that tends to a discriminative and exploitative treatment. The unfair treatments include: a sexual harashment in the moment of saweran (the time for the male audience dancing with the dancer and gives the tip by touching the dancer’s body), the forcing to obey the man by edreg dance (the jathil dancer present the gift as charming attitude toward the barongan dancer and ganongan dancer everytime after they finish their dance); the attaching of cheap short toward the woman jathil and it is caused by their gaudy make up so that they look like a seducing woman and even the prostitute stigma caused by the pattern of picking up by different people each time with unfixed schedule that sometime it is not suitable with the visit time of their environment, whether is in a practice time or show time.
Baca Selengkapnya ...

DINAMIKA PEMIKIRAN ISLAM WAROK PONOROGO

Published by ridokurnianto under on 23.08
Penelitian ini dilakukan berdasarkan ketertarikan peneliti terkait dengan adanya redefinisi dan reinterpretasi warok Ponorogo yang terus bergulir dan membuahkan berbagai kemajuan, terutama dibidang keberagamaan masyarakat Ponorogo, melalui pemikiran Islam yang dilancarkan warok dari kalangan Muslim. Gerakan pemikiran Islam di dunia warok jelas suatu hal yang agak nyleneh, mengingat sosok warok yang dikenal selama puluhan tahun adalah warok dalam perspektif olah kanuragan.
Penelitian ini bertujuan melakukan induksi-konseptualisasi, tentang dinamika pemikiran Islam warok Ponorogo. Sejumlah aspek lain yang dimungkinkan sangat terkait dengan tujuan yang hendak dicapai, dirumuskan sebagai berikut: (1) ingin mengetahui perkembangan Islam di Ponorogo sekaligus hubungannya dengan adat atau tradisi setempat; (2) ingin mengetahui konsepsi atau pemaknaan tentang warok dari masa ke masa; (3) ingin mengetahui kontribusi para warok dalam porsi kualifikasi masing-masing dalam membangun masyarakat Ponorogo; dan (4) ingin mengetahui secara jelas kontribusi pemikiran Islam warok Ponorogo dalam membangun dan mengembangkan masyarakat Islam pada tataran kualitatif.

Data tentang dinamika pemikiran warok Ponorogo, digali melalui teknik wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-analitis dengan metode vestehen, melalui proses induksi-interprtetasi-konseptualisasi. Dalam hal ini, analisis data yang demikian, mengikuti apa yang dikemukakan Bogdan dalam Muhadjir (1987: 171), yakni analisis akan di lakukan, baik di lapangan maupun setelah meninggalkan lapangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika pemikiran Islam yang dikembangkan oleh warok Ponorogo berjalan seiring dengan dinamika seni reyog dan warok itu sendiri. Ada dua tipologi pemikiran Islam yang berkembang; Pertama, melalui setting seni reyog Ponorogo melalui pemekaran makna simbol dan tari. Pendekatan budaya ini dilakukan oleh Kiai Ma’shum melalui penyelenggaraan festival reyog islami yang dilakukan setiap tahun di pesantrennya; Kedua, melalui para warok kanuragan lewat metode sambang atau silaturrahim kepada para warok kanuragan. Model ini dilakukan oleh Kiai Syukri. Pemikiran Islam di kalangan warok berkontribusi signifikan terhadap pengembangan reyog Ponorogo itu sendiri, terutama dalam bentuk peningkatan apresiasi masyarakat Ponorogo yang memang mayoritas Muslim, bahkan karenanya sudah ada beberapa pesantren dan sekolah Islam yang tidak ragu lagi menjadikan seni reyog ini sebagai seni yang sah dipelajari, misalnya Universitas Muhammadiyah Ponorogo dengan group seni reyog “Simo Budi Utomo”. Sementara dari aspek gerakan islmisasi masyarakat, kontribusi pemikiran Islam itu nampak dalam wujud peningkatan kualitas keberagamaan warok kanuragan, dimana melalui peningkatan kemusliman itu telah membuahkan semangat dakwah dari kalangan warok kanuragan itu sendiri untuk menebarkan hal yang sama kepada masyarakat di lingkungan mereka masing-masing. Dinamika pemikiran Islam ini selanjutnya menjadi pilar yang sangat efektif bagi terbentuknya pola islamisasi di kalangan konco reyog dan warok Ponorogo.
THE DINAMIC OF ISLAMIC THOUGHT OF PONOROGO WAROK
This study is conducted based on the writer’s interest about the rededinition and reinterpretation of Ponorogo Warok that consinually occurs and generates some developments especially in the field of the variety on Ponorogo society, through Islamic thought delivered by Muslim warok.
The purpose of this research is to conduct the conceptualization-induction about the dynamic of Ponorogo warok’s Islamic thought. A number of other aspects that perhaps involved with the purpose reached is stated as the following; (1) to know the development of Islam in Ponorogo and its relationship with the local culture; (2) to know the concept or the meaning of warok from time to time; (3) to know the warok’s contribution of each qualification portion in developing Ponorogo society; and (4) to know early the contribution of Ponorogo warok’s Islamic thought in developing and increasing Islamic society in a qualitative level.
The data of dynamic Ponorogo warok’s Islamic thought is obtained by a deep interview, observation, and dokumention. The data analysis with vestehen method, trought the process of conseptualization-interpretation-induction. In this case, it follows what Bogdan and Muhajir (1987: 171) states, that the analysis will be conducted, whether it is in the field or after leaving the field.
The result shows that the dynamic of Islamic thought developed by Ponorogo warok wolks along with the dynamic of reyog art and by the setting of Ponorogo reyog art though the development of the symbol meaning and the dance. This cultural approach is conducted by Kiai Ma’shum by the Islamic reyog festival that is hold annually in this school. The second by kanuragan warok through visit method or silaturrahim to kanuragan warok. This model is conducted by Kiai Syukri. The Islamic thought in warok contribute signivicantly toward Ponorogo reyog development it seep, especially in the from of the increasing of Ponorogo society’s appreciation that majority is Muslim, even there are some public schools and Islamic schools that are not doubted anymore to induce reyog as art learned legally, such as Muhammadiyah University of Ponorogo with reyog group Simo Budi Utomo. Besides from the society islamization increasing of kanuragan warok variety, in which through the islamization increasing has caused Islam missionary amon kanuragan warok’s themselves to spread the same thing for the society in their environment. The dynamic of Islamic thought, morever, becomes a very effective pole for the forming of islamization pathern in reyog friendship and Ponorogo warok.
Baca Selengkapnya ...