3 PESAN RASULULLAH SAW
Published by ridokurnianto under on 18.57
Di dalam hadis riwayat Baihaqy, Malaikat Jibril as., menyampaikan pesan Allah SWT tentang beberapa kunci mensikapi hidup di dunia kepada Rasulullah SAW agar diteruskan kepada seluruh ummat Rasulullah SAW (termasuk kita sekalian):
Malaikat Jibril AS mendatangiku seraya berkata: “Wahai Muhammad! “Hiduplah kamu (di dunia ini) sehendakmu, tetapi ingat bahwa kamu akan mati; cintailah apa yang kamu sukai, tetapi ingat bahwa kamu akan meninggalkannya, dan berbuatlah sesukamu, tetapi ingat bahwa kamu akan mendapatkan balasan dari apa yang telah kamu perbuat..”
Pesan pertama, (“’isy ma syi’ta fainnaka mayyitun); “Hiduplah kamu sesukamu, tetpai ingat bahwa kamu akan mati”, mengandung pesan kunci bahwa kematian merupakan kata kunci dan tolak ukur kaum Muslim dalam mensikapi hidupnya. Kematian merupakan rambu-rambu kita dalam memanfaatkan seluruh umur kita di kehidupan dunia ini. Allah SWT menciptakan manungsa lengkap dengan sarana hidup yang dinamakan “keduniaan” ; sifat dunia adalah “mata al-ghurur” (kesenangan yang menipu). Tipu dayanya cukup halus dan memukau, hingga sering manusia dibuatnya terlena karenanya. Dalam perspektif ini, dunia bagaikan jaring laba-laba yang setiap saat menjerat siapapun yang melewatinya. Faktanya, berapa banyak manusia yang berhasil dijadikan tawanan oleh dunia; asyik-maksyuk di dalamnya hingga mengabaikan tugasnya menghamba kepada Allah SWT.
Di dalam banyak tempat (ayat) Al-Qur’an meningatkan kita agar “berlomba-lomba” mengerjakan amal shalih, dengan tujuan utama mengingatkan kita agar hidup kita tidak sia-sia: Di dalam QS. al-Baqarah: 148 Allah berfirman:
“Maka berlomba-lombalah kalian dalam mengerjakan amal shalih. Di tempat manapun kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkanmu (di hari kiamat)”
Orang mukmin akan menyambut firman Allah tersebut dengan bersegera, karena mereka sadar bahwa akan kembali menghadap Allah SWT. Ciri utama seorang mukmin adalah; senantiasa semangat dan rajin mengerjakan amal shalih, dan bersamaan dengan itu para mukmin itu juga senantiasa khawatir, cemas jikalau amal shalih yang telah dilakukannya ternyata tidak diterima disisi Allah SWT., Karena itu, di dalam harap dan cemas itu, para mukmin senantiasa berusaha untuk bisa mengerjakan amal shalih sebanyak-banyaknya. Allah menyampaikan ciri mukmin ini di dalam QS. Al-Mukmin: 61:
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali pada Tuhan mereka; mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya”.
Meneruskan ayat-ayat Allah tersebut, Rasulullah SAW mengingatkan kita agar bersegera mengerjakan amal shalih, sebelum terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, karena di jaman akhir (yang insyaAllah kita alami ini) orang akan dikepung oleh berbagai rintangan agar semakin jauh dari tuntunan Ilahi. Rasulullah mengingatkan kita sebagai berikut:
“Bersegeralah kalian mengerjakan amal shalih, sebab akan datang fitnah-fitnah (besar) bagaikan gelap-gulitanya malam, dimana akan terjadi seseorang yang pada pagi harinya masih menjadi mukmin, sore harinya sudah menjadi kafir; dan sore harinya seseorang masih menjadi seorang mukmin, pagi harinya sudah menjadi kafir; orang-orang itu rela menjual agamanya dengan harga yang sangat murah.” (HR. Muslim)
Analisis dan prediksi Rasulullah SAW di dalam hadis di atas, mengisyaratkan, bahwa seorang mukmin jangan sampai terlambat mengerjakan ibadah dan amal shalih serta kebajikan-kebajikan lainnya, sehingga perjalanan hidupnya dipenuhi dengan kesibukan beramal dan beribadah kepada Allah SWT, karena takkan ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi esuk hari; hari-hari senantiasa berubah; masa selalu silih berganti, sementara berbagai fitnah bermunculan tiada terbendung.
Oleh karena dahsyatnya fitnah-fitnah tersebut, sampai-sampai sangat sulit untuk diketahui hakikatnya, ibarat berada di dalam suatu malam yang pekat, malam yang gelap gulita, yang menyebabkan orang sangat mudah tersesat dan tidak tahu arah; Inilah benang merah prediksi Rasulullah SAW; bahwa di pagi hari seseorang masih dalam keadaan mukmin, tiba-tiba di sore harinya sudah menjadi kafir (penentang kebenaran); dan sebaliknya, di sore harinya seseorang masih menjadi mukmin, tiba-tiba di pagi harinya sudah menjadi kafir.
Dalam kondisi seperti inilah, analisis Rasulullah kemudian, menyatakan bahwa sangat dimungkinkan seseorang rela menjual agamanya dengan harga yang sangat murah; sangat mudah ia menyatakan halal terhadap perkara-perkara yang telah diharamkan oleh Allah SWT; menyatakan haram terhadap perkara-perkara yang telah dihalalkan Allah SWT, gara-gara hanya ingin meraup keuntungan duniawi yang fana (tidak langgeng) ini.
Pesan kedua; (2) “Cintai apapun yang kamu suka, tetapi ingat bahwa semuanya akan berpisah denganmu”.
Rasulullah saw mengajarkan kepada kita agar jangan sampai terpedaya oleh keduniaan dalam bentuk apapun (harta, anak, isteri/suami, jabatan/pangkat, ilmu, dan sebagainya), sebab ketika kita terjebak oleh tipu muslihat keduniaan, maka bisa dipastikan kita akan kehilangan kepekaan hati; tidak bisa merasakan cahaya Allah SWT; hingga hati kita gelap dan nyaris tertutup dari hidayah serta pertolongan Allah SWT.
Disaat kita terlena oleh tipu muslihat keduniaan, sebenarnya di saat itu juga kita sudah melepas ikatan suci dengan cahaya Allah SWT. Karena itulah Rasul SAW mengajarkan kiat kepada kita agar harta dunia itu takkan membelenggu kita; beliau sampaikan agar kita memanfaatkan harta dunia itu sebagai sarana meraih cahaya Allah SWT.
Banyak model yang telah dicontohkan oleh para pemilik dunia dikalangan sahabat Rasul SAW.; mereka rela meninggalkan kecintaannya pada dunia yang telah lama dikuasai demi menuju rahman dan rahim Allah SWT. Salah satunya adalah Abu Thalhah. Beliau adalah orang Anshar yang paling banyak hartanya. Dan harta yang paling dicintainya adalah sebuah kebun indah yang terletak berhadapan dengan Masjid Nabawi. Kebun indah itu bernama Bairuha’. Rasulullah sendiri biasa masuk ke kebun itu dan menyempatkan minum airnya yang sangat jernih.
Suatu kali turun wahyu kepada Rasulullah SAW ayat 92 surat Ali ‘Imran:
“Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Setelah Abu Thalhah mendengar khabar akan turunnya wahyu tersebut, ia langsung menemui Rasulullah SAW, kemudian berkata kepada beliau; “wahai Rasulullah! Aku telah mendengar wahyu Allah yang engkau terima; sementara aku memiliki harta kekayaan yang sangat aku cintai, yakni sebuah kebun indah yang biasa engkau singgah disana; kebun Bairuha’. Saat ini kebun itu aku serahkan kepada engkau dengan harapan bisa menjadi sedekah yang aku harapkan kebajikannya dan sebagai simpanan di sisi Allah SWT. Maka taruhlah wahai Rasulullah, sesuai yang diberitahukan Allah kepada engkau.”
Sebagai mukmin, sudah barang tentu kita mengetahui bahwa tujuan hidup ini adalah Allah SWT; bukan harta, bukan tahta, dan bukan yang lainnya. Harta dunia semata alat; semata sarana. Ia hanya menyelamatkan, jika digunakan di jalan Allah SWT; Tetapi manakala hanya dinikmati untuk kemewahan dan kesombongan, ia hanya akan membuat diri lalai dan selebihnya mencelakakan.
Namun demikian, meski kita telah mengetahui, faktanya sering hati ini tidak mau menghayati; bahwa harta dunia itu adalah hanya alat semata. Harta dunia yang tampak langsung di depan mata, sungguh sangat menggoda hati; meski tahu harta itu fana dan akan abadi bila diinfakkan, hati ini masih sangat suka menyimpannya dan terasa berat untuk mengeluarkannya di jalan Allah SWT.
Perasaan terlalu mencintai harta seperti itu hendaknya jangan dibiarkan membelenggu jiwa. Meski dunia ini terasa indah, hendaknya selalu diyakinkan bahwa kita akan meninggalkan dunia ini; dan semua harta yang kita miliki akan kita tinggalkan. Hanya iman dan amal shalih yang menjadi bekal menghadap Allah. Kepada Allahlah kita akan kembali.
Keindahan dunia juga dirasakan oleh Abu Thalhah. Kalau beliau menganggap harta terindah dan paling dicintai adalah kebun Bairuha’, kita tentu juga memilikinya. Tentu saja dalam bentuk yang lain (misalnya; perhiasan emas, rumah, kendaraan, ladang, tanah, atau lainnya).
Andai kita bersama-sama melakukan sebuah simulasi untuk menjatuhkan pilihan; mana yang lebih kita cintai; “harta dunia kita” atau “Allah kah”?, kira-kira saja kita sangat berat untuk menjatuhkan pilihan itu. Andai kita menuliskan salah satu harta yang paling kita cintai pada secarik kertas; lalu kita tuliskan lagi tujuan hidup kita, yakni Allah SWT pada secarik kertas yang lain; kemudian masing-masing kita genggam erat-erat; lalu kita bertanya kepada diri sendiri; mana yang harus kita pertahankan dan mana yang harus kita lepas. Hati kita nampaknya akan terasa berat melepas salah satunya; mau melepas diri dari Allah SWT tidak akan mungkin, karena kita sangat sadar takkan melepas keimanan hanya demi membela harta dunia yang fana; namun akan melepas harta yang paling kita cintai rasanya juga sayang; karena selagi hidup di dunia kita akan membutuhkannya.
Meski paparan singkat ini hanya bayangan simulasi; hati kita sudah merasakan betapa berat memilih salah satu dari keduanya. Mampukah kita membuat keputusan gagah seperti Abu Thalhah ? Rasanya dengan jujur kita mengaku, bahwa hati ini masih sangat mencintai harta dunia kita. Abu Thalhah memang mencintai kebunnya, namun demi meraih kebajikan yang sempurna disisi Allah SWT, ia berani melepas harta yang paling dicintainya dan lebih berpegang kepada Allah SWT.
Pesan ketiga; “Berbuatlah kamu sesukamu, tetapi ingat bahwa kamu akan mendapat balasannya. “
“Hari ini adalah hari amal tanpa hisab, besuk hari hisab dan tak lagi menerima amal” kata Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW., telah membuat analisis tentang keadaan umat manusia di akhir jaman; beliau sampaikan bahwa di jaman itu manusia sudah tak lagi peduli kepada hukum dan aturan agama; Manusia banyak adalah manusia yang senang berbuat jahat, menentang kebenaran, bahkan bangga melakukan maksiat di depan umum.
Diantara sekian banyak orang, lanjut Rasulullah, hanya sedikit sekali orang yang masih mau mengikuti ajaran Allah dan Rasul-Nya; saking sedikitnya hingga orang-orang itu mendapat gelar “al-ghuraba” (manusia langka, manusia unik dan aneh); disebabkan kebanyakan orang sudah tak lagi peduli kepada norma dan ajaran agama, sementara orang-orang ini justru semakin taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kepada orang-orang langka ini, Rasul menyampaikan jaminan akan kepastian beroleh keuntungan dan kebahagiaan hakiki; (thuba li al-ghuraba); orang-orang unik ini bisa dikenali dari perilakunya; (1) mereka tetap baik dan berbuat kebajikan di tengah-tengah orang-orang brengsek (orang-orang jahat dan pekerjaannya hanya berbuat kejahatan); “alladzina yushlihuna idza fasad an-nas; (2) mereka tetap menghidupkan sunnah-sunnah Rasulillah SAW dengan penuh hikmat di tengah-tengah manusia banyak yang telah melalaikan bahkan membunuh sunnah-sunnah Rasul tersebut; “alladzina yuhyuna sunnaty ba’da amataha an-nas.
Dalam bahasan lain Rasulullah mengilustrasikan keadaan orang-orang beriman di jaman akhir seperti orang yang tengah memegang bara api di tangan, sementara ia berada di tengah-tengah samudra yang tiada bertepi. Andai bara api di lepas, ia akan kehilangan arah karena hanya bara api itu yang bisa menyinari sekelilingnya; sementara; sementara andai bara api tetap di pegang, ia akan berjuang mati-matian melawan panas yang tiada terperi. Hanya orang-orang yang beriman kokoh saja yang mampu bertahan dalam kondisi apapun; karena mereka tahu bahwa kebahagiaan hakiki telah menunggunya di surge Allah yang abadi.
Selagi kita masih di dunia; memiliki kesempatan untuk memilih, mari kita berbenah, menata hidup dengan lebih baik lagi, agar kita bisa memastikan diri, bahwa seluruh amal yang kita lakukan; semuanya bernilai shalih disisi Allah SWT.
Baca Selengkapnya ...
Malaikat Jibril AS mendatangiku seraya berkata: “Wahai Muhammad! “Hiduplah kamu (di dunia ini) sehendakmu, tetapi ingat bahwa kamu akan mati; cintailah apa yang kamu sukai, tetapi ingat bahwa kamu akan meninggalkannya, dan berbuatlah sesukamu, tetapi ingat bahwa kamu akan mendapatkan balasan dari apa yang telah kamu perbuat..”
Pesan pertama, (“’isy ma syi’ta fainnaka mayyitun); “Hiduplah kamu sesukamu, tetpai ingat bahwa kamu akan mati”, mengandung pesan kunci bahwa kematian merupakan kata kunci dan tolak ukur kaum Muslim dalam mensikapi hidupnya. Kematian merupakan rambu-rambu kita dalam memanfaatkan seluruh umur kita di kehidupan dunia ini. Allah SWT menciptakan manungsa lengkap dengan sarana hidup yang dinamakan “keduniaan” ; sifat dunia adalah “mata al-ghurur” (kesenangan yang menipu). Tipu dayanya cukup halus dan memukau, hingga sering manusia dibuatnya terlena karenanya. Dalam perspektif ini, dunia bagaikan jaring laba-laba yang setiap saat menjerat siapapun yang melewatinya. Faktanya, berapa banyak manusia yang berhasil dijadikan tawanan oleh dunia; asyik-maksyuk di dalamnya hingga mengabaikan tugasnya menghamba kepada Allah SWT.
Di dalam banyak tempat (ayat) Al-Qur’an meningatkan kita agar “berlomba-lomba” mengerjakan amal shalih, dengan tujuan utama mengingatkan kita agar hidup kita tidak sia-sia: Di dalam QS. al-Baqarah: 148 Allah berfirman:
“Maka berlomba-lombalah kalian dalam mengerjakan amal shalih. Di tempat manapun kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkanmu (di hari kiamat)”
Orang mukmin akan menyambut firman Allah tersebut dengan bersegera, karena mereka sadar bahwa akan kembali menghadap Allah SWT. Ciri utama seorang mukmin adalah; senantiasa semangat dan rajin mengerjakan amal shalih, dan bersamaan dengan itu para mukmin itu juga senantiasa khawatir, cemas jikalau amal shalih yang telah dilakukannya ternyata tidak diterima disisi Allah SWT., Karena itu, di dalam harap dan cemas itu, para mukmin senantiasa berusaha untuk bisa mengerjakan amal shalih sebanyak-banyaknya. Allah menyampaikan ciri mukmin ini di dalam QS. Al-Mukmin: 61:
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali pada Tuhan mereka; mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya”.
Meneruskan ayat-ayat Allah tersebut, Rasulullah SAW mengingatkan kita agar bersegera mengerjakan amal shalih, sebelum terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, karena di jaman akhir (yang insyaAllah kita alami ini) orang akan dikepung oleh berbagai rintangan agar semakin jauh dari tuntunan Ilahi. Rasulullah mengingatkan kita sebagai berikut:
“Bersegeralah kalian mengerjakan amal shalih, sebab akan datang fitnah-fitnah (besar) bagaikan gelap-gulitanya malam, dimana akan terjadi seseorang yang pada pagi harinya masih menjadi mukmin, sore harinya sudah menjadi kafir; dan sore harinya seseorang masih menjadi seorang mukmin, pagi harinya sudah menjadi kafir; orang-orang itu rela menjual agamanya dengan harga yang sangat murah.” (HR. Muslim)
Analisis dan prediksi Rasulullah SAW di dalam hadis di atas, mengisyaratkan, bahwa seorang mukmin jangan sampai terlambat mengerjakan ibadah dan amal shalih serta kebajikan-kebajikan lainnya, sehingga perjalanan hidupnya dipenuhi dengan kesibukan beramal dan beribadah kepada Allah SWT, karena takkan ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi esuk hari; hari-hari senantiasa berubah; masa selalu silih berganti, sementara berbagai fitnah bermunculan tiada terbendung.
Oleh karena dahsyatnya fitnah-fitnah tersebut, sampai-sampai sangat sulit untuk diketahui hakikatnya, ibarat berada di dalam suatu malam yang pekat, malam yang gelap gulita, yang menyebabkan orang sangat mudah tersesat dan tidak tahu arah; Inilah benang merah prediksi Rasulullah SAW; bahwa di pagi hari seseorang masih dalam keadaan mukmin, tiba-tiba di sore harinya sudah menjadi kafir (penentang kebenaran); dan sebaliknya, di sore harinya seseorang masih menjadi mukmin, tiba-tiba di pagi harinya sudah menjadi kafir.
Dalam kondisi seperti inilah, analisis Rasulullah kemudian, menyatakan bahwa sangat dimungkinkan seseorang rela menjual agamanya dengan harga yang sangat murah; sangat mudah ia menyatakan halal terhadap perkara-perkara yang telah diharamkan oleh Allah SWT; menyatakan haram terhadap perkara-perkara yang telah dihalalkan Allah SWT, gara-gara hanya ingin meraup keuntungan duniawi yang fana (tidak langgeng) ini.
Pesan kedua; (2) “Cintai apapun yang kamu suka, tetapi ingat bahwa semuanya akan berpisah denganmu”.
Rasulullah saw mengajarkan kepada kita agar jangan sampai terpedaya oleh keduniaan dalam bentuk apapun (harta, anak, isteri/suami, jabatan/pangkat, ilmu, dan sebagainya), sebab ketika kita terjebak oleh tipu muslihat keduniaan, maka bisa dipastikan kita akan kehilangan kepekaan hati; tidak bisa merasakan cahaya Allah SWT; hingga hati kita gelap dan nyaris tertutup dari hidayah serta pertolongan Allah SWT.
Disaat kita terlena oleh tipu muslihat keduniaan, sebenarnya di saat itu juga kita sudah melepas ikatan suci dengan cahaya Allah SWT. Karena itulah Rasul SAW mengajarkan kiat kepada kita agar harta dunia itu takkan membelenggu kita; beliau sampaikan agar kita memanfaatkan harta dunia itu sebagai sarana meraih cahaya Allah SWT.
Banyak model yang telah dicontohkan oleh para pemilik dunia dikalangan sahabat Rasul SAW.; mereka rela meninggalkan kecintaannya pada dunia yang telah lama dikuasai demi menuju rahman dan rahim Allah SWT. Salah satunya adalah Abu Thalhah. Beliau adalah orang Anshar yang paling banyak hartanya. Dan harta yang paling dicintainya adalah sebuah kebun indah yang terletak berhadapan dengan Masjid Nabawi. Kebun indah itu bernama Bairuha’. Rasulullah sendiri biasa masuk ke kebun itu dan menyempatkan minum airnya yang sangat jernih.
Suatu kali turun wahyu kepada Rasulullah SAW ayat 92 surat Ali ‘Imran:
“Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Setelah Abu Thalhah mendengar khabar akan turunnya wahyu tersebut, ia langsung menemui Rasulullah SAW, kemudian berkata kepada beliau; “wahai Rasulullah! Aku telah mendengar wahyu Allah yang engkau terima; sementara aku memiliki harta kekayaan yang sangat aku cintai, yakni sebuah kebun indah yang biasa engkau singgah disana; kebun Bairuha’. Saat ini kebun itu aku serahkan kepada engkau dengan harapan bisa menjadi sedekah yang aku harapkan kebajikannya dan sebagai simpanan di sisi Allah SWT. Maka taruhlah wahai Rasulullah, sesuai yang diberitahukan Allah kepada engkau.”
Sebagai mukmin, sudah barang tentu kita mengetahui bahwa tujuan hidup ini adalah Allah SWT; bukan harta, bukan tahta, dan bukan yang lainnya. Harta dunia semata alat; semata sarana. Ia hanya menyelamatkan, jika digunakan di jalan Allah SWT; Tetapi manakala hanya dinikmati untuk kemewahan dan kesombongan, ia hanya akan membuat diri lalai dan selebihnya mencelakakan.
Namun demikian, meski kita telah mengetahui, faktanya sering hati ini tidak mau menghayati; bahwa harta dunia itu adalah hanya alat semata. Harta dunia yang tampak langsung di depan mata, sungguh sangat menggoda hati; meski tahu harta itu fana dan akan abadi bila diinfakkan, hati ini masih sangat suka menyimpannya dan terasa berat untuk mengeluarkannya di jalan Allah SWT.
Perasaan terlalu mencintai harta seperti itu hendaknya jangan dibiarkan membelenggu jiwa. Meski dunia ini terasa indah, hendaknya selalu diyakinkan bahwa kita akan meninggalkan dunia ini; dan semua harta yang kita miliki akan kita tinggalkan. Hanya iman dan amal shalih yang menjadi bekal menghadap Allah. Kepada Allahlah kita akan kembali.
Keindahan dunia juga dirasakan oleh Abu Thalhah. Kalau beliau menganggap harta terindah dan paling dicintai adalah kebun Bairuha’, kita tentu juga memilikinya. Tentu saja dalam bentuk yang lain (misalnya; perhiasan emas, rumah, kendaraan, ladang, tanah, atau lainnya).
Andai kita bersama-sama melakukan sebuah simulasi untuk menjatuhkan pilihan; mana yang lebih kita cintai; “harta dunia kita” atau “Allah kah”?, kira-kira saja kita sangat berat untuk menjatuhkan pilihan itu. Andai kita menuliskan salah satu harta yang paling kita cintai pada secarik kertas; lalu kita tuliskan lagi tujuan hidup kita, yakni Allah SWT pada secarik kertas yang lain; kemudian masing-masing kita genggam erat-erat; lalu kita bertanya kepada diri sendiri; mana yang harus kita pertahankan dan mana yang harus kita lepas. Hati kita nampaknya akan terasa berat melepas salah satunya; mau melepas diri dari Allah SWT tidak akan mungkin, karena kita sangat sadar takkan melepas keimanan hanya demi membela harta dunia yang fana; namun akan melepas harta yang paling kita cintai rasanya juga sayang; karena selagi hidup di dunia kita akan membutuhkannya.
Meski paparan singkat ini hanya bayangan simulasi; hati kita sudah merasakan betapa berat memilih salah satu dari keduanya. Mampukah kita membuat keputusan gagah seperti Abu Thalhah ? Rasanya dengan jujur kita mengaku, bahwa hati ini masih sangat mencintai harta dunia kita. Abu Thalhah memang mencintai kebunnya, namun demi meraih kebajikan yang sempurna disisi Allah SWT, ia berani melepas harta yang paling dicintainya dan lebih berpegang kepada Allah SWT.
Pesan ketiga; “Berbuatlah kamu sesukamu, tetapi ingat bahwa kamu akan mendapat balasannya. “
“Hari ini adalah hari amal tanpa hisab, besuk hari hisab dan tak lagi menerima amal” kata Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW., telah membuat analisis tentang keadaan umat manusia di akhir jaman; beliau sampaikan bahwa di jaman itu manusia sudah tak lagi peduli kepada hukum dan aturan agama; Manusia banyak adalah manusia yang senang berbuat jahat, menentang kebenaran, bahkan bangga melakukan maksiat di depan umum.
Diantara sekian banyak orang, lanjut Rasulullah, hanya sedikit sekali orang yang masih mau mengikuti ajaran Allah dan Rasul-Nya; saking sedikitnya hingga orang-orang itu mendapat gelar “al-ghuraba” (manusia langka, manusia unik dan aneh); disebabkan kebanyakan orang sudah tak lagi peduli kepada norma dan ajaran agama, sementara orang-orang ini justru semakin taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kepada orang-orang langka ini, Rasul menyampaikan jaminan akan kepastian beroleh keuntungan dan kebahagiaan hakiki; (thuba li al-ghuraba); orang-orang unik ini bisa dikenali dari perilakunya; (1) mereka tetap baik dan berbuat kebajikan di tengah-tengah orang-orang brengsek (orang-orang jahat dan pekerjaannya hanya berbuat kejahatan); “alladzina yushlihuna idza fasad an-nas; (2) mereka tetap menghidupkan sunnah-sunnah Rasulillah SAW dengan penuh hikmat di tengah-tengah manusia banyak yang telah melalaikan bahkan membunuh sunnah-sunnah Rasul tersebut; “alladzina yuhyuna sunnaty ba’da amataha an-nas.
Dalam bahasan lain Rasulullah mengilustrasikan keadaan orang-orang beriman di jaman akhir seperti orang yang tengah memegang bara api di tangan, sementara ia berada di tengah-tengah samudra yang tiada bertepi. Andai bara api di lepas, ia akan kehilangan arah karena hanya bara api itu yang bisa menyinari sekelilingnya; sementara; sementara andai bara api tetap di pegang, ia akan berjuang mati-matian melawan panas yang tiada terperi. Hanya orang-orang yang beriman kokoh saja yang mampu bertahan dalam kondisi apapun; karena mereka tahu bahwa kebahagiaan hakiki telah menunggunya di surge Allah yang abadi.
Selagi kita masih di dunia; memiliki kesempatan untuk memilih, mari kita berbenah, menata hidup dengan lebih baik lagi, agar kita bisa memastikan diri, bahwa seluruh amal yang kita lakukan; semuanya bernilai shalih disisi Allah SWT.
Baca Selengkapnya ...