PERTUMBUHAN AGAMA PADA MANUSIA
Published by ridokurnianto under PSIKOLOGI AGAMA on 20.53
A. Pendahuluan
Menurut al-Qur’an, setiap manusia telah memiliki potensi dasar untuk beragama. Potensi dasar (disebut fitrah beragama) ini diberikan Allah SWT., sejak manusia berada di dalam rahim ibundanya. Allah SWT., mengungkap hal ini dalam QS. Al-A’raf: 172; “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman); “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”
Potensi beragama ini selanjutnya akan mengalami dinamika perkembangan setelah ia dilahirkan ke dunia. Ia bisa menjadi subur tatkala mendapatkan lingkungan persemaian yang subur, sebaliknya ia akan kering manakala mendapati lingkungan persemaian yang tandus. Lingkungan persemaian itu meliputi; pendidikan, pengalaman, dan latihan.
Melalui pendidikan agama, manusia akan diantarkan untuk memahami dengan baik pentingnya agama dalam hidup dan kehidupannya. Melalui pengalaman agama yang diperolehnya, misalnya melalui; lingkungan keluarga yang taat menjalankan agama, lingkungan sosial (masyarakat) di sekelilingnya yang juga taat menjalankan agama, ia akan memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk hidup dalam aturan agama dan mampu merasakan betapa nikmatnya hidup beragama. Sedangkan melalui latihan, manusia akan terbiasa menjalankan ibadah, terbiasa untuk taat kepada aturan-aturan agama.
Kualitas keberagamaan manusia selanjutnya akan banyak ditentukan oleh kualitas persemaian kehidupan agama yang diperolehnya, terutama pada saat ia berusia anak-anak. Hal ini disebabkan oleh kondisi kejiwaan anak yang memang masih dalam bentuk yang sarat menerima rangsangan dari luar. Sebagaimana ditulis Clark dalam “The Psycology of Religion” (1969), anak adalah manusia dalam bentuk, akan tetapi dalam arti lebih dekat kepada hewan. Secara khusus tulisan ini akan memaparkan secara analitis perkembangan agama pada anak.
B. Anak Mengenal Tuhan
Anak mengenal Tuhan pada mulanya dengan bahasa. Asma Allah yang sering di dengarnya (terutama dari orang tuanya) akan menimbulkan kesan dalam jiwa anak, kemudian membentuk guratan-guratan yang sulit dihapus dari jiwanya. Pada awalnya kesan-kesan agama lewat bahasa itu, diterima anak dengan acuh tak acuh, tetapi karena seringnya pesan itu didengar anak serta dibarengi dengan sikap orang-orang di sekelilingnya (terutama dari orang tuanya) yang menunjukkan rasa kagum dan takut kepada Tuhan, maka ia akan merasa gelisah dan ragu terhadap sesuatu yang gaib yang tidak bisa dilihatnya itu.
Mulailah anak mengulang kata-kata yang diucapkan oleh orang-orang dewasa sekelilingnya. Dari sinilah lambat laun masuklah pemikiran tentang Tuhan dalam pembinaan kepribadiannya dan menjadi obyek pengalaman agamis.
Pemikiran anak tentang Tuhan, bukanlah sekedar arti yang disimpulkannya secara sadar dari kata Allah, tetapi sebaliknya mempunyai dasar yang jauh ke alam tidak sadar, atau dengan kata lain, ia mempunyai permulaan kejiwaan yang mendahuluinya melalui pertumbuhan fikiran anak. Mulai umur 3 dan 4 tahun anak sering mengemukakan pertanyaan yang ada hubungannya dengan agama, misalnya “siapa Tuhan?”, “dimanakah surga itu?”, “bagaimana cara pergi kesana?”. Disinilah sebenarnya jawaban-jawaban yang bersifat fantasi dalam pengertian positif harus diberikan kepadanya, agar perasaan beragama tumbuh semakin kuat.
C. Anak Memperoleh Pengalaman Agama
Pengalaman agama anak diawali dari interaksinya dengan orangtuanya. Kedua orangtuanya merupakan pusat kehidupan ruhani anak sekaligus sebagai penyebab berkenalannya dengan alam luar. Karena itu, reaksi emosi anak dan pemikirannya di kemudian hari sangat bergantung pada pola hubungan yang terjadi dengan kedua orang tuanya itu, termasuk pengalaman beragama yang diperolehnya.
Pada umur kira-kira 3 tahun, bersamaan dengan kekagumannya terhadap ibu-bapaknya (sebagai orang suci; pribadi ideal yang sangat sempurna, dan seolah-olah tuhan), dalam jiwanya juga mulai muncul pokok-pokok rasa agama. Informasi tentang Tuhan yang diterimanya dari berbagai sumber; pendidikan, lingkungan kehidupannya, dan seterusnya, membuat anak berangsur-angsur merubah kepercayaannya dari orang tua yang dianggapnya tuhan menjadi Allah yang sebenarnya. Ketika pertumbuhan pengertian anak terhadap kenyataan luar semakin luas, maka akan menyadarkannya bahwa kemampuan orang tuanya terbatas, apalagi jika orang tuanya mengatakan kepada anak ada sesuatu yang Maha Berkuasa di semesta ini. Anak menjadi ragu akan kesempurnaan orang tuanya dan kemudian mengantarkan jiwanya menjadi goyah. Ini terjadi saat anak berusia sekitar 4 tahun.
Perubahan kepercayaan (Allah menggantikan fungsi bapak) adalah suatu gambaran lahiriyah dari perubahan yang lebih umum, yang mencakup kemajuan emosi dan fikiran sekaligus. Karena itu, untuk memudahkan anak menerima pemikiran tentang Tuhan, perlu disampaikan sifat-sifat Tuhan; Pengasih, Penyayang, dan seterusnya, dimana akan membuat anak merasa aman. Hendaklah ia dijauhkan dari sifat-sifat-Nya yang terkesan “jahat”; Keras, Kejam, Penyiksa, dan seterusnya, agar prasangka buruk tentang Tuhan bisa dihindari.
Disini, lingkungan sangat besar pengaruhnya atas dapatnya si anak menerima pemikiran tentang Tuhan. Lebih jauh, sikap anak terhadap agama mengandung kekaguman dan penghargaan. Bagi anak, upacara-upacara agama dan dekorasi (keindahan) rumah ibadah, lebih menarik perhatian. Pengalaman agama akan banyak dimunculkan dari persentuhannya dengan segala sesuatu yang menarik jiwanya. Kepercayaan anak bersifat egosentris (semua yang dilakukannya dalam beragama dimaksudkan untuk mencapai keinginan pribadinya), misalnya; ia mau beribadat dan berbuat baik karena akan mendapatkan upah. Ia menggambarkan Tuhan sebagai seorang yang akan selalu menolongnya, sebagaimana pengalamannya dengan orang tuanya (yang selama ini juga memberikan perlindungan dan pertolongan).
Perlu diperhatikan, bahwa anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil. Karena itu, agama yang cocok untuk orang dewasa tidak akan cocok bagi anak. Agama harus disajikan dengan cara lebih konkrit, dengan bahasa yang dipahaminya.
D. Latihan Agama pada Anak
Latihan-latihan keagamaan hendaklah dilakukan sedemikian rupa, sehingga menumbuhkan nilai-nilai dan rasa aman pada anak, dimana hal ini akan sangat diperlukan dalam mengawal pertumbuhan kepribadiannya. Apabila latihan-latihan keagamaan dilalaikan, atau diberikan dengan cara yang kaku, salah, atau tidak cocok sesuai ruang dan waktu anak, bisa jadi saat dewasa nanti ia akan cenderung kurang peduli atau bahkan antipati terhadap agama.
Pada usia 7 tahun pertama, perasaan anak terhadap Tuhan cenderung negatif; takut, menentang, dan ragu. Anak menganggap bahwa tidak bisa dilihatnya Tuhan olehnya, mengandung maksud jahat. Karena itu sikap percayanya pada Tuhan bukan didorong rasa ingin tahunya, tetapi lebih didorong oleh perasaan takut dan karena itu ingin merasa aman.
Pada usia 7 tahun kedua, perasaan anak terhadap Tuhan berganti denga sikap yang lebih positif (cinta dan hormat). Rasa percayanya pada Tuhan tidak lagi didorong rasa takut, tapi karena keinginannya untuk melihat Tuhan. Ini terjadi karena pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan dan hal-hal metafisik lain sering tidak terjawab oleh orang dewasa di sekelilingnya. Karena itu, anak mencari sendiri jawaban yang diciptakannya sendiri, dimana sebagian dari jawaban itu diperoleh dari pendidikan agama yang diterimanya.
Hingga usia 8 tahun, hubungan anak dengan Tuhannya bersifat individual dan emosional, yang dibayangkan dengan caranya sendiri. Pendidikan dan pengalaman yang diterimanya dari dunia luar, belum benar-benar menjadi bagian dari pembinaan pikirannya. Itulah sebabnya, pemikiran semua anak tentang Tuhan, kendatipun berbeda lingkungannya, tetap mempunyai garis-garis pokok yang sama. Anak akan mulai menerima pelajaran atau pendidikan agama dengan kepercayaannya muali usia 13-21 tahun. Kendatipun demikian, ada masanya anak tetap mengungkapkan keragua-raguannya, terutama ketika doa mereka tidak “terkabul”.
Keraguan beragama lebih sering terjadi pada anak yang sangat cerdas, dibanding dengan anak yang kurang kecerdasannya. Ia menyatakan keraguannya dengan cara obyektif dan emosional. Apabila gelombang keraguannya itu tenang kembali, maka seolah keraguan itu hilang begitu saja. Pada umur semakin dewasa, anak mulai meragukan ajaran agama; mempertanyaan kebenaran ajaran agama; dan bahkan mengecam ajaran agama yang diterimanya sewaktu kecil. Hal ini terjadi, kemungkinan besar karena caranya mendapatkan pelajaran agama yang kurang menyenangkan atau kurang teratur. Disamping juga disebabkan oleh bertambahnya pengetahuan umum yang di dapat di sekolah.
E. Simpulan
Perasaan beragama pada anak, sebenarnya mengalir secara alami (fitrah; potensi dasar atau bawaan). Ia akan berkembang lebih baik atau bahkan mati, bergantung pada lingkungan kehidupan yang membesarkannya. Pengenalan akan Tuhan yang mendapatkan penguatan melalui pengalaman dan latihan beragama secara teratur sesuai dengan ruang dan waktu anak, akan berdampak pada rasa beragama anak yang semakin kuat, sehingga akan mewarnai kehidupan keseharian mereka di kemudian hari.
Baca Selengkapnya ...
Menurut al-Qur’an, setiap manusia telah memiliki potensi dasar untuk beragama. Potensi dasar (disebut fitrah beragama) ini diberikan Allah SWT., sejak manusia berada di dalam rahim ibundanya. Allah SWT., mengungkap hal ini dalam QS. Al-A’raf: 172; “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman); “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”
Potensi beragama ini selanjutnya akan mengalami dinamika perkembangan setelah ia dilahirkan ke dunia. Ia bisa menjadi subur tatkala mendapatkan lingkungan persemaian yang subur, sebaliknya ia akan kering manakala mendapati lingkungan persemaian yang tandus. Lingkungan persemaian itu meliputi; pendidikan, pengalaman, dan latihan.
Melalui pendidikan agama, manusia akan diantarkan untuk memahami dengan baik pentingnya agama dalam hidup dan kehidupannya. Melalui pengalaman agama yang diperolehnya, misalnya melalui; lingkungan keluarga yang taat menjalankan agama, lingkungan sosial (masyarakat) di sekelilingnya yang juga taat menjalankan agama, ia akan memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk hidup dalam aturan agama dan mampu merasakan betapa nikmatnya hidup beragama. Sedangkan melalui latihan, manusia akan terbiasa menjalankan ibadah, terbiasa untuk taat kepada aturan-aturan agama.
Kualitas keberagamaan manusia selanjutnya akan banyak ditentukan oleh kualitas persemaian kehidupan agama yang diperolehnya, terutama pada saat ia berusia anak-anak. Hal ini disebabkan oleh kondisi kejiwaan anak yang memang masih dalam bentuk yang sarat menerima rangsangan dari luar. Sebagaimana ditulis Clark dalam “The Psycology of Religion” (1969), anak adalah manusia dalam bentuk, akan tetapi dalam arti lebih dekat kepada hewan. Secara khusus tulisan ini akan memaparkan secara analitis perkembangan agama pada anak.
B. Anak Mengenal Tuhan
Anak mengenal Tuhan pada mulanya dengan bahasa. Asma Allah yang sering di dengarnya (terutama dari orang tuanya) akan menimbulkan kesan dalam jiwa anak, kemudian membentuk guratan-guratan yang sulit dihapus dari jiwanya. Pada awalnya kesan-kesan agama lewat bahasa itu, diterima anak dengan acuh tak acuh, tetapi karena seringnya pesan itu didengar anak serta dibarengi dengan sikap orang-orang di sekelilingnya (terutama dari orang tuanya) yang menunjukkan rasa kagum dan takut kepada Tuhan, maka ia akan merasa gelisah dan ragu terhadap sesuatu yang gaib yang tidak bisa dilihatnya itu.
Mulailah anak mengulang kata-kata yang diucapkan oleh orang-orang dewasa sekelilingnya. Dari sinilah lambat laun masuklah pemikiran tentang Tuhan dalam pembinaan kepribadiannya dan menjadi obyek pengalaman agamis.
Pemikiran anak tentang Tuhan, bukanlah sekedar arti yang disimpulkannya secara sadar dari kata Allah, tetapi sebaliknya mempunyai dasar yang jauh ke alam tidak sadar, atau dengan kata lain, ia mempunyai permulaan kejiwaan yang mendahuluinya melalui pertumbuhan fikiran anak. Mulai umur 3 dan 4 tahun anak sering mengemukakan pertanyaan yang ada hubungannya dengan agama, misalnya “siapa Tuhan?”, “dimanakah surga itu?”, “bagaimana cara pergi kesana?”. Disinilah sebenarnya jawaban-jawaban yang bersifat fantasi dalam pengertian positif harus diberikan kepadanya, agar perasaan beragama tumbuh semakin kuat.
C. Anak Memperoleh Pengalaman Agama
Pengalaman agama anak diawali dari interaksinya dengan orangtuanya. Kedua orangtuanya merupakan pusat kehidupan ruhani anak sekaligus sebagai penyebab berkenalannya dengan alam luar. Karena itu, reaksi emosi anak dan pemikirannya di kemudian hari sangat bergantung pada pola hubungan yang terjadi dengan kedua orang tuanya itu, termasuk pengalaman beragama yang diperolehnya.
Pada umur kira-kira 3 tahun, bersamaan dengan kekagumannya terhadap ibu-bapaknya (sebagai orang suci; pribadi ideal yang sangat sempurna, dan seolah-olah tuhan), dalam jiwanya juga mulai muncul pokok-pokok rasa agama. Informasi tentang Tuhan yang diterimanya dari berbagai sumber; pendidikan, lingkungan kehidupannya, dan seterusnya, membuat anak berangsur-angsur merubah kepercayaannya dari orang tua yang dianggapnya tuhan menjadi Allah yang sebenarnya. Ketika pertumbuhan pengertian anak terhadap kenyataan luar semakin luas, maka akan menyadarkannya bahwa kemampuan orang tuanya terbatas, apalagi jika orang tuanya mengatakan kepada anak ada sesuatu yang Maha Berkuasa di semesta ini. Anak menjadi ragu akan kesempurnaan orang tuanya dan kemudian mengantarkan jiwanya menjadi goyah. Ini terjadi saat anak berusia sekitar 4 tahun.
Perubahan kepercayaan (Allah menggantikan fungsi bapak) adalah suatu gambaran lahiriyah dari perubahan yang lebih umum, yang mencakup kemajuan emosi dan fikiran sekaligus. Karena itu, untuk memudahkan anak menerima pemikiran tentang Tuhan, perlu disampaikan sifat-sifat Tuhan; Pengasih, Penyayang, dan seterusnya, dimana akan membuat anak merasa aman. Hendaklah ia dijauhkan dari sifat-sifat-Nya yang terkesan “jahat”; Keras, Kejam, Penyiksa, dan seterusnya, agar prasangka buruk tentang Tuhan bisa dihindari.
Disini, lingkungan sangat besar pengaruhnya atas dapatnya si anak menerima pemikiran tentang Tuhan. Lebih jauh, sikap anak terhadap agama mengandung kekaguman dan penghargaan. Bagi anak, upacara-upacara agama dan dekorasi (keindahan) rumah ibadah, lebih menarik perhatian. Pengalaman agama akan banyak dimunculkan dari persentuhannya dengan segala sesuatu yang menarik jiwanya. Kepercayaan anak bersifat egosentris (semua yang dilakukannya dalam beragama dimaksudkan untuk mencapai keinginan pribadinya), misalnya; ia mau beribadat dan berbuat baik karena akan mendapatkan upah. Ia menggambarkan Tuhan sebagai seorang yang akan selalu menolongnya, sebagaimana pengalamannya dengan orang tuanya (yang selama ini juga memberikan perlindungan dan pertolongan).
Perlu diperhatikan, bahwa anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil. Karena itu, agama yang cocok untuk orang dewasa tidak akan cocok bagi anak. Agama harus disajikan dengan cara lebih konkrit, dengan bahasa yang dipahaminya.
D. Latihan Agama pada Anak
Latihan-latihan keagamaan hendaklah dilakukan sedemikian rupa, sehingga menumbuhkan nilai-nilai dan rasa aman pada anak, dimana hal ini akan sangat diperlukan dalam mengawal pertumbuhan kepribadiannya. Apabila latihan-latihan keagamaan dilalaikan, atau diberikan dengan cara yang kaku, salah, atau tidak cocok sesuai ruang dan waktu anak, bisa jadi saat dewasa nanti ia akan cenderung kurang peduli atau bahkan antipati terhadap agama.
Pada usia 7 tahun pertama, perasaan anak terhadap Tuhan cenderung negatif; takut, menentang, dan ragu. Anak menganggap bahwa tidak bisa dilihatnya Tuhan olehnya, mengandung maksud jahat. Karena itu sikap percayanya pada Tuhan bukan didorong rasa ingin tahunya, tetapi lebih didorong oleh perasaan takut dan karena itu ingin merasa aman.
Pada usia 7 tahun kedua, perasaan anak terhadap Tuhan berganti denga sikap yang lebih positif (cinta dan hormat). Rasa percayanya pada Tuhan tidak lagi didorong rasa takut, tapi karena keinginannya untuk melihat Tuhan. Ini terjadi karena pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan dan hal-hal metafisik lain sering tidak terjawab oleh orang dewasa di sekelilingnya. Karena itu, anak mencari sendiri jawaban yang diciptakannya sendiri, dimana sebagian dari jawaban itu diperoleh dari pendidikan agama yang diterimanya.
Hingga usia 8 tahun, hubungan anak dengan Tuhannya bersifat individual dan emosional, yang dibayangkan dengan caranya sendiri. Pendidikan dan pengalaman yang diterimanya dari dunia luar, belum benar-benar menjadi bagian dari pembinaan pikirannya. Itulah sebabnya, pemikiran semua anak tentang Tuhan, kendatipun berbeda lingkungannya, tetap mempunyai garis-garis pokok yang sama. Anak akan mulai menerima pelajaran atau pendidikan agama dengan kepercayaannya muali usia 13-21 tahun. Kendatipun demikian, ada masanya anak tetap mengungkapkan keragua-raguannya, terutama ketika doa mereka tidak “terkabul”.
Keraguan beragama lebih sering terjadi pada anak yang sangat cerdas, dibanding dengan anak yang kurang kecerdasannya. Ia menyatakan keraguannya dengan cara obyektif dan emosional. Apabila gelombang keraguannya itu tenang kembali, maka seolah keraguan itu hilang begitu saja. Pada umur semakin dewasa, anak mulai meragukan ajaran agama; mempertanyaan kebenaran ajaran agama; dan bahkan mengecam ajaran agama yang diterimanya sewaktu kecil. Hal ini terjadi, kemungkinan besar karena caranya mendapatkan pelajaran agama yang kurang menyenangkan atau kurang teratur. Disamping juga disebabkan oleh bertambahnya pengetahuan umum yang di dapat di sekolah.
E. Simpulan
Perasaan beragama pada anak, sebenarnya mengalir secara alami (fitrah; potensi dasar atau bawaan). Ia akan berkembang lebih baik atau bahkan mati, bergantung pada lingkungan kehidupan yang membesarkannya. Pengenalan akan Tuhan yang mendapatkan penguatan melalui pengalaman dan latihan beragama secara teratur sesuai dengan ruang dan waktu anak, akan berdampak pada rasa beragama anak yang semakin kuat, sehingga akan mewarnai kehidupan keseharian mereka di kemudian hari.
Baca Selengkapnya ...
0 komentar:
Posting Komentar