MENGHADAPI DUNIA YANG BERUBAH
Published by ridokurnianto under MOTIVASI on 21.28
Pra Wacana; Waktu Seperti Pedang
“Masa lalu adalah negeri asing, mereka melakukan hal secara berbeda disana. Masa depan juga merupakan negeri yang berbeda”. Demikian Butler dan Hope memulai karya besarnya “Manage Your Mind” (2001). Di dalam pernyataan kedua pakar psikologi itu terkandung pengakuan dan sekaligus sinyal peringatan kepada kita akan kehidupan yang sedang dan akan kita hadapi yang semakin melipat dan menyusut. Masyarakat global telah menjadi kenyataan. Komunikasi supercepat melintas tujuh benua adalah kejadian biasa. Temuan-temuan ilmiah dan teknologi terjadi hampir setiap hari. Bank-bank data di seluruh dunia berkembang pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Seorang peramal-trend bernama Faith Popcorn, penulis buku best seller “The Popcorn Report”, mengatakan “seolah-olah waktu itu sendiri telah menjadi lebih cepat dari dahulu. Segera benar-benar segera, tidak ada kesempatan untuk berhenti dan mengambil nafas sebentar”. Hal inilah barangkali yang pernah diisyaratkan Rasulullah SAW., “al-waqt ka al-saif” (waktu itu seperti pedang); sebagaimana layaknya pedang yang tajam, kita mungkin akan terkena libasannya di saat kita lalai atau tidak terampil memfungsikannya.
Kecepatan teknologi mengantarkan fakta-fakta kehidupan ke hadapan kita, lebih cepat dari kemampuan kita mencerapnya. Dan teknologi informasi bukan hanya menjadikan informasi itu dapat kita akses setiap waktu – ia juga menjadikan kita dapat diakses oleh informasi.
Apa yang terpapar di atas merupakan deskripsi sekilas tentang perubahan dunia yang kita hadapi dalam ukuran bukan per-hari lagi, tetapi sudah dalam hitungan per-detik. Konsekuensinya, kita harus masuk dan berada dalam perubahan itu. Sudah barang tentu, keberhasilan kita di masa depan sangat bergantung, terutama pada sejauh mana kita dan anak-anak kita mengembangkan ketrampilan-ketrampilan yang tepat untuk menguasai kekuatan kecepatan, kompleksitas, dan ketidakpastian yang saling berhubungan satu sama lain.
Bagi mahasiswa (satu pilar generasi bangsa ini), sebagai penerus pembangunan bangsa dan negara, tidak boleh tidak, dituntut dan disyaratkan untuk menguasai kemampuan belajar yang lebih cepat. Hal ini karena kompleksitas dunia yang terus meningkat juga menuntut kemampuan yang sesuai untuk menganalisis setiap situasi secara logis dan memecahkan masalah secara kreatif, sehingga memiliki kemampuan antisipatif terhadap berbagai kemungkinan untuk mengantarkan sekaligus menghadapi dunia mereka yang sudah pasti akan jauh lebih kompleks dan rumit.
Menyongsong Dunia yang Berubah
Kata Futurolog Inggris Prof. Charles Handy (dikutip Colin Rose, dkk., 2001:15): “Bagaimanapun perubahan adalah kata lain dari pertumbuhan, sinonim dari kata belajar. Kita semua bisa melakukannya dan menikmatinya, jika kita mau.” Dengan pernyataan itu, barangkali mereka ingin menegaskan bahwa perubahan merupakan perjalanan alami dari kehidupan itu sendiri. Manusia tidak bisa menghindar dari perubahan itu, karena jika ia menghindarinya, maka sebenarnya sama saja ia telah mati dalam hidup. Manusia seperti ini sudah tidak lagi diperhitungkan oleh peradaban, karena keberadaannya sama saja dengan ketiadaannya. Dalam istilah Arab disebut “wujuduh ka ‘adamih”; adanya sama saja dengan tidak adanya.
Lebih lanjut, kehidupan yang tidak pro-aktif terhadap perubahan merupakan sesuatu yang dilarang dalam ajaran agama (Islam); “Hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok” (QS. Al-Hasyr (59):18) Sikap hidup dinamis juga telah dibekalkan oleh Rasulullah SAW kepada kita agar kita membekali diri dengan sejumlah keilmuan dan ketrampilan untuk menghadapi hidup; “uthlub al-‘ilm walau bil-sin” (“tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina); “uthlub al-‘ilm min al-mahd ila al-lahd” (“tuntutlah ilmu sedari kecil sampai menjelang ajal”).
Strategi Menatap Masa Depan
Ada pertanyaan klasik yang selalu mengiang di telinga kita: “Ingin jadi apa jika kamu besar nanti?”. Pertanyaan ini secara turun-temurun sengaja dipertahankan oleh sebagian besar institusi pendidikan baik formal, informal, maupun non formal untuk mengukur sekaligus mempersiapkan generasi penerusnya. Dua puluh-an tahun silam, barangkali pertanyaan ini masih relevan dengan kondisi jaman saat itu. Namun untuk ukuran saat ini, pertanyaan itu perlu direvisi menjadi; “apa yang pertama-tama bisa kamu lakukan?”
Pada saat dunia berubah sangat cepat seperti ini, maka yang harus menjadi prioritas utama bagi para harapan bangsa adalah bagaimana cara belajar dan cara berpikir yang baik. “Jangan berharap lagi dapat menuai sukses pada esok hari dengan hanya mengandalkan pengetahuan yang anda miliki hari ini” (Colin Rose, 2000:23). Cara belajar dan berpikir konvensional dalam banyak segi sudah tidak relevan lagi untuk menghadapi perubahan itu. Sikap ini memang tidak bisa berdiri sendiri, karena harus pula diikuti oleh sikap-sikap yang lain, terutama sikap pihak dunia sekolah. Sistem sekolah yang naïf, yakni yang masih memfokuskan perhatian pada bagaimana memutuskan apa yang harus dipelajari peserta didik dan bagaimana mereka harus berpikir, harus segera dihentikan. Sistem persekolahan harus berani merubah model pembelajaran menjadi bagaimana harus belajar dan apa yang dipikirkan.
Strategi yang dimajukan Butler dan Hope (2001:27 bisa dipakai acuan untuk mengarahkan sikap kita dalam menghadapi perubahan; Pertama, Memahami Masa Kini. Kita mengkondisikan diri untuk melihat dengan jelas dimana diri kita saat ini. Jangan bersembunyi dari realitas kekinian. “Ciumlah cheese sesering mungkin, sehingga Anda tahu saat ia mulai membusuk”, begitulah nasehat sepasang tikus cerdas; Sniff dan Scurry dalam karya besar Spencer Johnson dalam “Who moved My cheese”(2000:60). Sniff dan Scurry adalah sepasang tikus dengan otak pas-pasan, tetapi mereka mampu memanfaatkan dan mengoptimalkan kemampuan diri yang lain, yakni kepekaan terhadap perubahan, sehingga sukses memperoleh cheese (berarti keju dan disini dimaknai “keberuntungan”) dalam hidupnya. Kemampuannya menatap masa depan menjadikan pasangan tikus cerdas itu berkreasi tiada henti untuk mengumpulkan cheese sebanyak-banyaknya. Setiap detik waktunya dimanfaatkan dengan sangat baik untuk menyusuri labirin (lorong tiada tepi yang penuh jebakan, sementara cheese juga berada di antara jebakan-jebakan labirin yang menyesatkan itu). Yang penting dicatat, pasangan tikus ini mampu mengalahkan saingan mereka, yakni sepasang tikus intelektual yang bernama Hem dan Haw (pasangan tikus yang sok cerdas dan sok actual). Di tengah kepercayaan dan keyakinan yang berlebihan akan kemampuan otak mereka, pasangan tikus yang sombong ini tidak lagi mau melihat jaman berubah, karena menurutnya jamanlah yang akan bisa ditundukkan oleh kemampuannya. Ia baru sadar setelah impiannya sirna; cheese telah sirna, habis dimakan setiap hari oleh mereka berdua beserta ratusan tikus kurcaci teman dan karibnya yang sengaja didatangkan untuk berpesta ria melahap cheese yang ada. Mereka terlena dengan kemampuan dan kecerdasan otaknya hingga lalai berupaya mengumpulkan cheese sebagai bekal utama menatap masa depannya.
Kedua, Jangan Dibebani oleh Masa Lalu. Masa lalu adalah sebuah bank informasi dimana kita dapat belajar. Namun masa lalu bukan sebuah jaringan dimana kita terperangkap didalamnya. Karena itulah Sniff dan Scurry mengikat persoalan penting ini dalam tulisan pengingat yang mereka tempel di dinding labirin dimana mereka melakukan trial and error dalam pencarian cheese; “Semakin Anda melupakan Cheese lama, semakin cepat pula Anda menemukan Cheese baru” (lihat Johnson, 2001:59). Melalui tulisan dinding itu mereka ingin mengingat terus, bahwa masa lalu tidak boleh membebani masa kini, karena sukses dimasa lalu belum tentu bisa diulang dengan cara yang sama untuk masa kini.
Ketiga, Menerima Ketidakpastian Masa Depan. Kita tidak bisa meramal masa depan dengan pasti, karena sebagian besar masa depan berada diluar kendali kita. Dari itu, mau tidak mau kita harus meninggalkan ruang ketidakpastian itu. Disinilah sikap keterbukaan dan percaya diri sangat diperlukan. Kita harus menerima ketidakpastian, dan belajar bagaimana menghadapi masa depan dengan rasa percaya diri.
Mengenal Diri; Melejitkan Potensi
Mengenali diri merupakan pintu masuk untuk mempersiapkan langkah strategis menghadapi masa depan. “Man ‘arofa nafsah faqad ‘arafa rabbah” (“Barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya”). Sabda Rasulullah SAW ini menegaskan betapa kekuatan dahsyat dari pengenalan diri seseorang untuk menggapai puncak kehidupan.
Dalam perspektif pembelajaran, mengenal diri berarti mengetahui secara baik modalitas belajarnya (karena gaya belajar seseorang sesuai dengan potensi yang diberikan Tuhan secara fitri). Modalitas belajar, sebagaimana diungkap Bobbi De Porter dan Mike Hernacki (1999:114) menyebut tiga gaya belajar; visual, auditorial, dan kinestetik. Secara sederhana masing-masing gaya belajar itu bisa dimaknai; gaya visual (belajar dengan cara melihat); auditorial (belajar dengan cara mendengar); dan kinestetik (belajar dengan cara bergerak, bekerja, dan menyentuh). Sekalipun masing-masing dari kita belajar dengan menggunakan ketiga modalitas ini pada tahapan tertentu, tetapi kebanyakan orang lebih cenderung pada salah satu dari ketiganya. Penemuan gaya belajar akan menjadikan seseorang bisa mengkombinasikan (menggabungkan dua aspek penting untuk meraih sukses belajar; (1) bagaimana ia menyerap informasi secara mudah, dan (2) bagaimana cara kita mengatur dan mengolah informasi tersebut.
Penemuan potensi afektif kita, selanjutnya juga merupakan hal yang tidak kalah penting untuk dilakukan. Kesiapan secara emosional menjadi senjata ampuh untuk menghadapi perubahan. “Realitas masa kini tak cukup hanya dihadapi dengan kecerdasan akal, Anda perlu memunculkan potensi lain selain akal, yang telah Anda miliki”, tulis De Porter dalam pengantar Quantum Learning nya. Termasuk dalam wilayah ini adalah keyakinan akan kesuksesan. Kemampuan secara akali yang telah kita kuasai akan menjadi semakin berdaya, jika kita yakin bahwa pengetahuan dan ketrampilan yang telah kita pegang, akan mengantarkan kita menuju kesuksesan hidup. Sebuah Hadis Qudsi berikut menguatkan dugaan ini, dimana Allah berfirman: “Ana fi dzann ‘abd bih” (“Aku tergantung pada keyakinan hamba-Ku kepada-Ku), artinya jika kita meyakini bahwa kita akan meraih kesuksesan, dengan ukuran-ukuran kemampuan dan ketrampilan yang telah kita miliki, maka Allah SWT akan hadir dalam keyakinan kita itu, untuk mewujudkan cita dan impian kita.
Pasca Wacana; Melebur secara Kompetitif
Tantangan dan hambatan dunia yang terus menerus akan berdatangan di depan kita. Takkan mungkin kita menghindar darinya karena hal itu merupakan hukum alam yang dinamakan perubahan. Justru menjadi sebuah keniscayaan, kita melebur secara kompetitif di dalam perubahan itu. Melebur bukan untuk larut di dalamnya, tetapi menjadikannya sebagai sarana untuk meraih kesuksesan hidup yang gemilang.
Mengakhiri tulisan ini, sebuah motto yang ditulis AJ. Cronin dikutip Johnson untuk mengantarkan karya ilustratifnya “Who Moved My Cheese ?” (2001:xiii), layak kita renungi: “Kehidupan bukanlah jalan yang lurus dan mudah dilalui, dimana kita bisa bepergian bebas tanpa halangan, namun berupa jalan-jalan sempit yang menyesatkan, dimana kita harus mencari jalan, tersesat dan bingung, sekarang dan sekali lagi kita sampai pada jalan yang tak berujung. Namun, jika kita punya keyakinan, pintu pasti akan dibukakan untuk kita, mungkin bukanlah pintu yang selalu kita inginkan, namun pintu yang akhirnya akan terbukti terbaik untuk kita.”
Baca Selengkapnya ...
“Masa lalu adalah negeri asing, mereka melakukan hal secara berbeda disana. Masa depan juga merupakan negeri yang berbeda”. Demikian Butler dan Hope memulai karya besarnya “Manage Your Mind” (2001). Di dalam pernyataan kedua pakar psikologi itu terkandung pengakuan dan sekaligus sinyal peringatan kepada kita akan kehidupan yang sedang dan akan kita hadapi yang semakin melipat dan menyusut. Masyarakat global telah menjadi kenyataan. Komunikasi supercepat melintas tujuh benua adalah kejadian biasa. Temuan-temuan ilmiah dan teknologi terjadi hampir setiap hari. Bank-bank data di seluruh dunia berkembang pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Seorang peramal-trend bernama Faith Popcorn, penulis buku best seller “The Popcorn Report”, mengatakan “seolah-olah waktu itu sendiri telah menjadi lebih cepat dari dahulu. Segera benar-benar segera, tidak ada kesempatan untuk berhenti dan mengambil nafas sebentar”. Hal inilah barangkali yang pernah diisyaratkan Rasulullah SAW., “al-waqt ka al-saif” (waktu itu seperti pedang); sebagaimana layaknya pedang yang tajam, kita mungkin akan terkena libasannya di saat kita lalai atau tidak terampil memfungsikannya.
Kecepatan teknologi mengantarkan fakta-fakta kehidupan ke hadapan kita, lebih cepat dari kemampuan kita mencerapnya. Dan teknologi informasi bukan hanya menjadikan informasi itu dapat kita akses setiap waktu – ia juga menjadikan kita dapat diakses oleh informasi.
Apa yang terpapar di atas merupakan deskripsi sekilas tentang perubahan dunia yang kita hadapi dalam ukuran bukan per-hari lagi, tetapi sudah dalam hitungan per-detik. Konsekuensinya, kita harus masuk dan berada dalam perubahan itu. Sudah barang tentu, keberhasilan kita di masa depan sangat bergantung, terutama pada sejauh mana kita dan anak-anak kita mengembangkan ketrampilan-ketrampilan yang tepat untuk menguasai kekuatan kecepatan, kompleksitas, dan ketidakpastian yang saling berhubungan satu sama lain.
Bagi mahasiswa (satu pilar generasi bangsa ini), sebagai penerus pembangunan bangsa dan negara, tidak boleh tidak, dituntut dan disyaratkan untuk menguasai kemampuan belajar yang lebih cepat. Hal ini karena kompleksitas dunia yang terus meningkat juga menuntut kemampuan yang sesuai untuk menganalisis setiap situasi secara logis dan memecahkan masalah secara kreatif, sehingga memiliki kemampuan antisipatif terhadap berbagai kemungkinan untuk mengantarkan sekaligus menghadapi dunia mereka yang sudah pasti akan jauh lebih kompleks dan rumit.
Menyongsong Dunia yang Berubah
Kata Futurolog Inggris Prof. Charles Handy (dikutip Colin Rose, dkk., 2001:15): “Bagaimanapun perubahan adalah kata lain dari pertumbuhan, sinonim dari kata belajar. Kita semua bisa melakukannya dan menikmatinya, jika kita mau.” Dengan pernyataan itu, barangkali mereka ingin menegaskan bahwa perubahan merupakan perjalanan alami dari kehidupan itu sendiri. Manusia tidak bisa menghindar dari perubahan itu, karena jika ia menghindarinya, maka sebenarnya sama saja ia telah mati dalam hidup. Manusia seperti ini sudah tidak lagi diperhitungkan oleh peradaban, karena keberadaannya sama saja dengan ketiadaannya. Dalam istilah Arab disebut “wujuduh ka ‘adamih”; adanya sama saja dengan tidak adanya.
Lebih lanjut, kehidupan yang tidak pro-aktif terhadap perubahan merupakan sesuatu yang dilarang dalam ajaran agama (Islam); “Hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok” (QS. Al-Hasyr (59):18) Sikap hidup dinamis juga telah dibekalkan oleh Rasulullah SAW kepada kita agar kita membekali diri dengan sejumlah keilmuan dan ketrampilan untuk menghadapi hidup; “uthlub al-‘ilm walau bil-sin” (“tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina); “uthlub al-‘ilm min al-mahd ila al-lahd” (“tuntutlah ilmu sedari kecil sampai menjelang ajal”).
Strategi Menatap Masa Depan
Ada pertanyaan klasik yang selalu mengiang di telinga kita: “Ingin jadi apa jika kamu besar nanti?”. Pertanyaan ini secara turun-temurun sengaja dipertahankan oleh sebagian besar institusi pendidikan baik formal, informal, maupun non formal untuk mengukur sekaligus mempersiapkan generasi penerusnya. Dua puluh-an tahun silam, barangkali pertanyaan ini masih relevan dengan kondisi jaman saat itu. Namun untuk ukuran saat ini, pertanyaan itu perlu direvisi menjadi; “apa yang pertama-tama bisa kamu lakukan?”
Pada saat dunia berubah sangat cepat seperti ini, maka yang harus menjadi prioritas utama bagi para harapan bangsa adalah bagaimana cara belajar dan cara berpikir yang baik. “Jangan berharap lagi dapat menuai sukses pada esok hari dengan hanya mengandalkan pengetahuan yang anda miliki hari ini” (Colin Rose, 2000:23). Cara belajar dan berpikir konvensional dalam banyak segi sudah tidak relevan lagi untuk menghadapi perubahan itu. Sikap ini memang tidak bisa berdiri sendiri, karena harus pula diikuti oleh sikap-sikap yang lain, terutama sikap pihak dunia sekolah. Sistem sekolah yang naïf, yakni yang masih memfokuskan perhatian pada bagaimana memutuskan apa yang harus dipelajari peserta didik dan bagaimana mereka harus berpikir, harus segera dihentikan. Sistem persekolahan harus berani merubah model pembelajaran menjadi bagaimana harus belajar dan apa yang dipikirkan.
Strategi yang dimajukan Butler dan Hope (2001:27 bisa dipakai acuan untuk mengarahkan sikap kita dalam menghadapi perubahan; Pertama, Memahami Masa Kini. Kita mengkondisikan diri untuk melihat dengan jelas dimana diri kita saat ini. Jangan bersembunyi dari realitas kekinian. “Ciumlah cheese sesering mungkin, sehingga Anda tahu saat ia mulai membusuk”, begitulah nasehat sepasang tikus cerdas; Sniff dan Scurry dalam karya besar Spencer Johnson dalam “Who moved My cheese”(2000:60). Sniff dan Scurry adalah sepasang tikus dengan otak pas-pasan, tetapi mereka mampu memanfaatkan dan mengoptimalkan kemampuan diri yang lain, yakni kepekaan terhadap perubahan, sehingga sukses memperoleh cheese (berarti keju dan disini dimaknai “keberuntungan”) dalam hidupnya. Kemampuannya menatap masa depan menjadikan pasangan tikus cerdas itu berkreasi tiada henti untuk mengumpulkan cheese sebanyak-banyaknya. Setiap detik waktunya dimanfaatkan dengan sangat baik untuk menyusuri labirin (lorong tiada tepi yang penuh jebakan, sementara cheese juga berada di antara jebakan-jebakan labirin yang menyesatkan itu). Yang penting dicatat, pasangan tikus ini mampu mengalahkan saingan mereka, yakni sepasang tikus intelektual yang bernama Hem dan Haw (pasangan tikus yang sok cerdas dan sok actual). Di tengah kepercayaan dan keyakinan yang berlebihan akan kemampuan otak mereka, pasangan tikus yang sombong ini tidak lagi mau melihat jaman berubah, karena menurutnya jamanlah yang akan bisa ditundukkan oleh kemampuannya. Ia baru sadar setelah impiannya sirna; cheese telah sirna, habis dimakan setiap hari oleh mereka berdua beserta ratusan tikus kurcaci teman dan karibnya yang sengaja didatangkan untuk berpesta ria melahap cheese yang ada. Mereka terlena dengan kemampuan dan kecerdasan otaknya hingga lalai berupaya mengumpulkan cheese sebagai bekal utama menatap masa depannya.
Kedua, Jangan Dibebani oleh Masa Lalu. Masa lalu adalah sebuah bank informasi dimana kita dapat belajar. Namun masa lalu bukan sebuah jaringan dimana kita terperangkap didalamnya. Karena itulah Sniff dan Scurry mengikat persoalan penting ini dalam tulisan pengingat yang mereka tempel di dinding labirin dimana mereka melakukan trial and error dalam pencarian cheese; “Semakin Anda melupakan Cheese lama, semakin cepat pula Anda menemukan Cheese baru” (lihat Johnson, 2001:59). Melalui tulisan dinding itu mereka ingin mengingat terus, bahwa masa lalu tidak boleh membebani masa kini, karena sukses dimasa lalu belum tentu bisa diulang dengan cara yang sama untuk masa kini.
Ketiga, Menerima Ketidakpastian Masa Depan. Kita tidak bisa meramal masa depan dengan pasti, karena sebagian besar masa depan berada diluar kendali kita. Dari itu, mau tidak mau kita harus meninggalkan ruang ketidakpastian itu. Disinilah sikap keterbukaan dan percaya diri sangat diperlukan. Kita harus menerima ketidakpastian, dan belajar bagaimana menghadapi masa depan dengan rasa percaya diri.
Mengenal Diri; Melejitkan Potensi
Mengenali diri merupakan pintu masuk untuk mempersiapkan langkah strategis menghadapi masa depan. “Man ‘arofa nafsah faqad ‘arafa rabbah” (“Barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya”). Sabda Rasulullah SAW ini menegaskan betapa kekuatan dahsyat dari pengenalan diri seseorang untuk menggapai puncak kehidupan.
Dalam perspektif pembelajaran, mengenal diri berarti mengetahui secara baik modalitas belajarnya (karena gaya belajar seseorang sesuai dengan potensi yang diberikan Tuhan secara fitri). Modalitas belajar, sebagaimana diungkap Bobbi De Porter dan Mike Hernacki (1999:114) menyebut tiga gaya belajar; visual, auditorial, dan kinestetik. Secara sederhana masing-masing gaya belajar itu bisa dimaknai; gaya visual (belajar dengan cara melihat); auditorial (belajar dengan cara mendengar); dan kinestetik (belajar dengan cara bergerak, bekerja, dan menyentuh). Sekalipun masing-masing dari kita belajar dengan menggunakan ketiga modalitas ini pada tahapan tertentu, tetapi kebanyakan orang lebih cenderung pada salah satu dari ketiganya. Penemuan gaya belajar akan menjadikan seseorang bisa mengkombinasikan (menggabungkan dua aspek penting untuk meraih sukses belajar; (1) bagaimana ia menyerap informasi secara mudah, dan (2) bagaimana cara kita mengatur dan mengolah informasi tersebut.
Penemuan potensi afektif kita, selanjutnya juga merupakan hal yang tidak kalah penting untuk dilakukan. Kesiapan secara emosional menjadi senjata ampuh untuk menghadapi perubahan. “Realitas masa kini tak cukup hanya dihadapi dengan kecerdasan akal, Anda perlu memunculkan potensi lain selain akal, yang telah Anda miliki”, tulis De Porter dalam pengantar Quantum Learning nya. Termasuk dalam wilayah ini adalah keyakinan akan kesuksesan. Kemampuan secara akali yang telah kita kuasai akan menjadi semakin berdaya, jika kita yakin bahwa pengetahuan dan ketrampilan yang telah kita pegang, akan mengantarkan kita menuju kesuksesan hidup. Sebuah Hadis Qudsi berikut menguatkan dugaan ini, dimana Allah berfirman: “Ana fi dzann ‘abd bih” (“Aku tergantung pada keyakinan hamba-Ku kepada-Ku), artinya jika kita meyakini bahwa kita akan meraih kesuksesan, dengan ukuran-ukuran kemampuan dan ketrampilan yang telah kita miliki, maka Allah SWT akan hadir dalam keyakinan kita itu, untuk mewujudkan cita dan impian kita.
Pasca Wacana; Melebur secara Kompetitif
Tantangan dan hambatan dunia yang terus menerus akan berdatangan di depan kita. Takkan mungkin kita menghindar darinya karena hal itu merupakan hukum alam yang dinamakan perubahan. Justru menjadi sebuah keniscayaan, kita melebur secara kompetitif di dalam perubahan itu. Melebur bukan untuk larut di dalamnya, tetapi menjadikannya sebagai sarana untuk meraih kesuksesan hidup yang gemilang.
Mengakhiri tulisan ini, sebuah motto yang ditulis AJ. Cronin dikutip Johnson untuk mengantarkan karya ilustratifnya “Who Moved My Cheese ?” (2001:xiii), layak kita renungi: “Kehidupan bukanlah jalan yang lurus dan mudah dilalui, dimana kita bisa bepergian bebas tanpa halangan, namun berupa jalan-jalan sempit yang menyesatkan, dimana kita harus mencari jalan, tersesat dan bingung, sekarang dan sekali lagi kita sampai pada jalan yang tak berujung. Namun, jika kita punya keyakinan, pintu pasti akan dibukakan untuk kita, mungkin bukanlah pintu yang selalu kita inginkan, namun pintu yang akhirnya akan terbukti terbaik untuk kita.”
Baca Selengkapnya ...
0 komentar:
Posting Komentar