MUSLIM MENCIPTA ISLAM
Published by ridokurnianto under ISLAMICA on 20.25
Pendahuluan
Hakekat seorang Muslim telah diterangkan dalam banyak hadits, tetapi kita juga berhak menerangkannya kembali, dengan cara yang tidak persis sama. Siapakah dan apakah Muslim itu ? Teks hadits (dalam Riwayat Muslim, misalnya), memberikan jawab; “ialah yang percaya Tuhan, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dn qada’-qadar”; “Ia juga seorang yang menyatakan syahadat, menunaikan shalat, zakat, puasa, haji”. Jawaban pertama berhubungan dengan keimanan dan dikenal dengan rukun iman, sementara jawaban kedua berkait dengan pelaksanaan Islam yang terangkum di dalam rukun Islam.
Islam diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya untuk diyakini dan dijalankan oleh pemeluknya. Pemeluk Islam kemudian disebut Muslim. Islam tanpa Muslim, akan sekedar dokumen tanpa ada yang membaca; ia ada di kamar gelap tak tersentuh dan tak diketahui. Adanya sama dengan tidak adanya (wujuduhu ka’adamihi). Sebagaimana diterangkan dalam teks di atas, eksistensi Islam berada di tangan Muslim; ia yang mepercayai dan sekaligus menjalankan ajarannya. Jadi peran Muslim dalam Islam menjadi sangat penting. Teks Islam akan bermakna dan kemudian akan membentuk amal dalam segala bidang, dimana darinya akan tercipta kehidupan yang islami, manakala Muslim aktif menciptakan dan memaknai Islam.
Menciptakan Islam
Kewajiban seorang Muslim ternyata tidak sekadar mengucapkan kalimat syahadat/tauhid; “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”, tetapi juga bertanggung jawab terhadap kelanjutan tradisi, budaya, dan kelanggengan ajaran Islam. Para pemeluk Islam (disebut Muslim) itu secara terus-menerus menghasilkan interpretasi Islam dalam kehidupan empiris dan praktis; sekaligus Muslim menciptakan teks-teks (nash-nash) keagamaan. Mereka secara aktif “menciptakan” Islam itu sendiri dengan tiada henti-hentinya. Muslim adalah penghasil dan pencipta “Islam” dan “Islam” dihasilkan dan diciptakan oleh Muslim tiada henti-hentinya.
Bagaimana Islam dimaknai, dihidupkan, dimiliki, dan dihasilkan, sangat kompleks karena model Muslim itu sendiri memaknai Islam juga beragam. Muslim, pada awalnya hanya menempati jazirah Arab dan sekitarnya, dimana Islam itu sendiri terlahir dan pertama kali dijalankan. Beberapa waktu kemudian, Islam masuk ke kawasan benua Afrika sekitar sungai Nil (Mesir dan sekitarnya), Eropa (Spanyol, Grenada), Asia Tengah (China dan beberapa negara bekas soviet), Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, minoritas Filipina, Brunei, dan lain-lain). Sudah sekitar seribu lima ratus tahun, Muslim telah menghasilkan dan memaknai Islam.
Menjadi Muslim berarti menyerahkan diri setelah mempercayai, karena Islam tidak mungkin dilanjutkan tanpa iman. Percaya adalah sesuatu yang gaib, tidak terjangkau oleh pancaindera (mata, telinga, kulit, hidung, dan mulut). Percaya pada Tuhan bukan berarti bahwa seseorang sudah ngobrol dengan Tuhan di warung kopi, dan ia diajak berjabat tangan dengan Dia; tetapi percaya adalah kepercayaan bahwa Dia akan ia mintai pertolongan saat dalam kesulitan. Ketika musibah, kondisi penting, cobaan datang, dan seterusnya menerpa seorang Muslim, maka ia takkan melakukan curhat kepada siapapun, kecuali kepada Allah SWT. Percaya pada Tuhan tidak bisa dilogikakan, sehingga menjadi argumen yang mapan, sekalipun kepercayaan itu masih bisa didialogkan.
Percaya dan menjadi Muslim juga berkait dengan bagaimana seseorang menjadi baik, dan semakin hari semakin baik. Bersamaan dengan terciptanya perbuatan baik itu, pelaku perbuatan baik merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya, sehingga seolah-olah ia melihat Tuhan atau Tuhan melihatnya. Inilah yang kemudian dikenal dalam Islam sebagai 3 pilar ajaran; Iman, Islam, Ihsan.
Tiga kata; Iman, Islam, dan Ihsan itu netral, personal, dan lentur. Aturan yang dibuat, teks yang ditulis, dan diskusi yang membahas ketiganya, bukan berarti menjadi tanda sudah ditemukannya makna ketiganya dan Muslim tinggal melaksanakannya. Tapi semua Muslim masih berjalan memaknai, dan mencari makna, karena banyaknya cara Muslim melaksanakan ketiga kata tersebut. Muslim buruh tani di desa terpencil akan berbeda memaknai ketiga kata tersebut dibanding sesama buruh tani yang berada di pinggiran kota; Muslim yang berprofesi pedagang kaki lima akan berbeda cara memaknai ketiganya dengan Muslim berprofesi pedagang besar; apalagi jika cara mereka memaknai itu dibandingkan dengan Muslim dengan profesi yang berbeda; petani dengan pedagang, pedagang dengan tentara, anggota dewan dengan guru, dan seterusnya.
Aktifis Muhammadiyah, kiai NU, ustadz pesantren, perawat rumah sakit, takmir masjid, organisasi kemahasiswaan (PMII, HMI, IMM, dan sejenisnya), mencoba menerjemahkan Islam dalam konteks mereka masing-masing. Demikian pula; tukang bakso, tukang sate, pecel lele, dan pedagang kaki lima yang lain, aktif atau tidak aktif di Masjid atau Mushalla, juga mempunyai hak tersendiri menterjemahkan Islam menurut konteks mereka sendiri.
Terjemahan, pemaknaan, dan praktik Islam, dengan demikian, menjadi bermacam-macam. Semuanya pada akhirnya akan membentuk suatu tradisi; ada yang memakai kopyah, surban, jas, sarung, jean, jilbab, rambut terurai, dan blankon ala Yogyakarta.
Terlepas dari bagaimana jarak antara yang ada di teks dan kenyataan praktik Muslim di kehidupan nyata, Islam telah diartikan dan didefinisikan sendiri oleh para pemeluknya.
Penutup
Islam tanpa Muslim, tak bermakna, tak terjemahkan, tak terpraktikkan – “wujudh ka ‘adamih”. Islam diciptakan oleh Muslim secara terus-menerus dengan membentuk teks dan tradisi. Muslim menterjemahkan, mengartikan, memaknai, dan mengamalkan Islam; Muslim menciptakan, menghidupkan, menghasilkan, dan mengadakan Islam, dengan berbagai cara. Muslim yang lain pun, juga “menciptakan” Islamnya sendiri-sendiri.
Baca Selengkapnya ...
Hakekat seorang Muslim telah diterangkan dalam banyak hadits, tetapi kita juga berhak menerangkannya kembali, dengan cara yang tidak persis sama. Siapakah dan apakah Muslim itu ? Teks hadits (dalam Riwayat Muslim, misalnya), memberikan jawab; “ialah yang percaya Tuhan, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dn qada’-qadar”; “Ia juga seorang yang menyatakan syahadat, menunaikan shalat, zakat, puasa, haji”. Jawaban pertama berhubungan dengan keimanan dan dikenal dengan rukun iman, sementara jawaban kedua berkait dengan pelaksanaan Islam yang terangkum di dalam rukun Islam.
Islam diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya untuk diyakini dan dijalankan oleh pemeluknya. Pemeluk Islam kemudian disebut Muslim. Islam tanpa Muslim, akan sekedar dokumen tanpa ada yang membaca; ia ada di kamar gelap tak tersentuh dan tak diketahui. Adanya sama dengan tidak adanya (wujuduhu ka’adamihi). Sebagaimana diterangkan dalam teks di atas, eksistensi Islam berada di tangan Muslim; ia yang mepercayai dan sekaligus menjalankan ajarannya. Jadi peran Muslim dalam Islam menjadi sangat penting. Teks Islam akan bermakna dan kemudian akan membentuk amal dalam segala bidang, dimana darinya akan tercipta kehidupan yang islami, manakala Muslim aktif menciptakan dan memaknai Islam.
Menciptakan Islam
Kewajiban seorang Muslim ternyata tidak sekadar mengucapkan kalimat syahadat/tauhid; “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”, tetapi juga bertanggung jawab terhadap kelanjutan tradisi, budaya, dan kelanggengan ajaran Islam. Para pemeluk Islam (disebut Muslim) itu secara terus-menerus menghasilkan interpretasi Islam dalam kehidupan empiris dan praktis; sekaligus Muslim menciptakan teks-teks (nash-nash) keagamaan. Mereka secara aktif “menciptakan” Islam itu sendiri dengan tiada henti-hentinya. Muslim adalah penghasil dan pencipta “Islam” dan “Islam” dihasilkan dan diciptakan oleh Muslim tiada henti-hentinya.
Bagaimana Islam dimaknai, dihidupkan, dimiliki, dan dihasilkan, sangat kompleks karena model Muslim itu sendiri memaknai Islam juga beragam. Muslim, pada awalnya hanya menempati jazirah Arab dan sekitarnya, dimana Islam itu sendiri terlahir dan pertama kali dijalankan. Beberapa waktu kemudian, Islam masuk ke kawasan benua Afrika sekitar sungai Nil (Mesir dan sekitarnya), Eropa (Spanyol, Grenada), Asia Tengah (China dan beberapa negara bekas soviet), Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, minoritas Filipina, Brunei, dan lain-lain). Sudah sekitar seribu lima ratus tahun, Muslim telah menghasilkan dan memaknai Islam.
Menjadi Muslim berarti menyerahkan diri setelah mempercayai, karena Islam tidak mungkin dilanjutkan tanpa iman. Percaya adalah sesuatu yang gaib, tidak terjangkau oleh pancaindera (mata, telinga, kulit, hidung, dan mulut). Percaya pada Tuhan bukan berarti bahwa seseorang sudah ngobrol dengan Tuhan di warung kopi, dan ia diajak berjabat tangan dengan Dia; tetapi percaya adalah kepercayaan bahwa Dia akan ia mintai pertolongan saat dalam kesulitan. Ketika musibah, kondisi penting, cobaan datang, dan seterusnya menerpa seorang Muslim, maka ia takkan melakukan curhat kepada siapapun, kecuali kepada Allah SWT. Percaya pada Tuhan tidak bisa dilogikakan, sehingga menjadi argumen yang mapan, sekalipun kepercayaan itu masih bisa didialogkan.
Percaya dan menjadi Muslim juga berkait dengan bagaimana seseorang menjadi baik, dan semakin hari semakin baik. Bersamaan dengan terciptanya perbuatan baik itu, pelaku perbuatan baik merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya, sehingga seolah-olah ia melihat Tuhan atau Tuhan melihatnya. Inilah yang kemudian dikenal dalam Islam sebagai 3 pilar ajaran; Iman, Islam, Ihsan.
Tiga kata; Iman, Islam, dan Ihsan itu netral, personal, dan lentur. Aturan yang dibuat, teks yang ditulis, dan diskusi yang membahas ketiganya, bukan berarti menjadi tanda sudah ditemukannya makna ketiganya dan Muslim tinggal melaksanakannya. Tapi semua Muslim masih berjalan memaknai, dan mencari makna, karena banyaknya cara Muslim melaksanakan ketiga kata tersebut. Muslim buruh tani di desa terpencil akan berbeda memaknai ketiga kata tersebut dibanding sesama buruh tani yang berada di pinggiran kota; Muslim yang berprofesi pedagang kaki lima akan berbeda cara memaknai ketiganya dengan Muslim berprofesi pedagang besar; apalagi jika cara mereka memaknai itu dibandingkan dengan Muslim dengan profesi yang berbeda; petani dengan pedagang, pedagang dengan tentara, anggota dewan dengan guru, dan seterusnya.
Aktifis Muhammadiyah, kiai NU, ustadz pesantren, perawat rumah sakit, takmir masjid, organisasi kemahasiswaan (PMII, HMI, IMM, dan sejenisnya), mencoba menerjemahkan Islam dalam konteks mereka masing-masing. Demikian pula; tukang bakso, tukang sate, pecel lele, dan pedagang kaki lima yang lain, aktif atau tidak aktif di Masjid atau Mushalla, juga mempunyai hak tersendiri menterjemahkan Islam menurut konteks mereka sendiri.
Terjemahan, pemaknaan, dan praktik Islam, dengan demikian, menjadi bermacam-macam. Semuanya pada akhirnya akan membentuk suatu tradisi; ada yang memakai kopyah, surban, jas, sarung, jean, jilbab, rambut terurai, dan blankon ala Yogyakarta.
Terlepas dari bagaimana jarak antara yang ada di teks dan kenyataan praktik Muslim di kehidupan nyata, Islam telah diartikan dan didefinisikan sendiri oleh para pemeluknya.
Penutup
Islam tanpa Muslim, tak bermakna, tak terjemahkan, tak terpraktikkan – “wujudh ka ‘adamih”. Islam diciptakan oleh Muslim secara terus-menerus dengan membentuk teks dan tradisi. Muslim menterjemahkan, mengartikan, memaknai, dan mengamalkan Islam; Muslim menciptakan, menghidupkan, menghasilkan, dan mengadakan Islam, dengan berbagai cara. Muslim yang lain pun, juga “menciptakan” Islamnya sendiri-sendiri.
Baca Selengkapnya ...
0 komentar:
Posting Komentar