KEARIFAN EMAS
Published by ridokurnianto under Khutbah on 18.50
Inna al-hamd li Allah nasta’inuh wa nastaghfiruh wa na’udzu bi Allah min syurur anfusina wa sayyiati a’malina man yahdi Allah fa huw al-muhtady wa man yudhlil fa la hadiya lah. Asyhadu an la ilaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan ’abduh wa rasuluh. Allahumma shalli wa sallim wa barik ’ala Muhammadi an-Nabiyy wa ’ala alih wa shahbih ajma’in. Amma ba’d, fa ya ikhwan rahimakum Allah; ushiny wa iyyakum bi taqw Allah wa tha’atih la’allakum turhamun.
Ma’asyir al-Muslimin rahimakumullah!
Mari kita senantiasa bertaqwa kepada Allah SWT., dengan senantiasa mentaati syari’at-Nya. Mari kita juga senantiasa mentaati Rasullah SAW, dengan senantiasa berupaya menyempurnakan akhlak karimah.
Akhir-akhir ini, kita telah dipaksa untuk mengikti perkembangan jaman yang dihiasi dengan sikap dan perilaku tidak terpuji; kesombongan, keserakahan, perlombaan pamer; pamer ilmu; pamer ketrampilan, pamer pangkat, pamer kekayaan, dan seterusnya.
Barangkali di sepanjang jalan yang kita lalui, kita akan menjumpai gambar-gambar partai politik dengan jumlah yang tak terhitung (sangking banyaknya); juga gambar-gambar calon legislatif (Caleg) yang dengan sangat bebas mameraken diri dengan sejumlah akhlak yang tidak terpuji tadi; “akulah terbaik, akulah terpintar, akulah paling merakyat, akulah paling amanat, akulah paling teruji, lan sejumlah aku...kesombongan dan keserakahan lainnya. Mereka tampakkan penampilan lahir dengan sebaik-baiknya, sementara jiwa serta hatinya sering tidak cocok/tidak tulus dengan apa yang ditampilkan.
Di dalam akhlak Islam, Rasulullah SAW., memberikan sunnah agar kita bertutur lembut, bertindak sopan, serta bersikaf arif. Kebebasan hidup menurut sunnah Rasulillah haruslah tetap dikbatasi dengan aturan-aturan; al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW.
Semua orang memiliki kebebasan untuk bertutur dan berbuat. Tetapi menurut Islam, tidak ada kebebasan tanpa batas, dan batas-batas tersebut tak lain adalah aturan agama. Karena itu seorang Muslim sejati, akan berpikir berkali-kali sebelum bertutur atau bertindak, disamping juga memohon petunjuk kepada Allah SWT.
Rasulullah SAW., bersabda:“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berbicara yang baik atau (kalau tidak bisa berbicara yang baik) lebih baik diam” (HR. Bukhari Muslim sangka Abu Hurairah).
“Man amana bi Allah wa al-yaum al-akhir fa al-yaqu al-khair aw liyashmut”Sebuah kata bijak bertutur: “Think today and speak tomorrow” (Berpiklah hari ini dan bicaralah esuknya).
Kalau ucapan kita tidak baik, apalagi kalau sampai menyakiti orang lain, maka lebih baik di tahan, jangan diucapkan. Tetapi kalau ucapan kita benar dan baik, maka lebih baik kita ucapkan, dan jangan ditahan.
Berkaitan dengan kebebasan tersebut, malaikat Jibril as. Pernah diutus Allah SWT untuk menyampaikan rambu-rambu hidup. Rasul SAW menyampaikan masalah ini di dalam hadisnya:“Jibril pernah mendatangiku dan bertutur: “Wahai Muhammad hiduplah kamu sesukamu, tetapi sesungguhnya kamuakan mati suatu saat, cintailah apa-apa yang kamu cintai sesuka hatimu, tetaopi suatu saat kamu akan berpisah dengannya, dan bertindaklah sesukamu, sesungguhnya semua perbuatan ada balasannya.” (HR. Baihaqy saka Jabir)
Ma’asyir al-Muslimin rahimakumullah!
Sabda Rasul SAW ini menjadi semakin relevan kita renungi, mengingat akhir-akhir ini, atas nama dalih kebebasan, banyak orang bertutur tanpa logika serta data yang benar (akurat), dan bertindak semaunya tanpa mengindahkan etika agama. Para cerdik (para pakar) barangkali, di jaman seperti ini, akan lebih bijaksana ketika mereka lebih banyak mendengarkan daripada bertutur (yang tidak jarang justru malah membingungkan masyarakat).
Ma’asyir al-Muslimin rahimakumullah!
Generasi berhati berhati emas diharap akan senantiasa bermunculan terutama di tengah-tengah kondisi seperti ini. Emas tetaplah emas dan takkan pernah rusak karena bergabung dengan barang-barang lainnya.
Suatu saat Guru Besar shufi; Dzun Nun Al-Mishri, ditegur seorang pemuda; “Guru, saya sulit memahami Anda, kenapa orang terhormat seperti Anda selalu berpakaian kaya begini?; sangat sederhana. Bukankah di jaman seperti ini berbusana indah dan bagus sangat dibutuhkan; tidak Cuma untuk tujuan berpenampilan keren, tetapi lebih jauh juga bisa dipakai untuk berbagai tujuan.?”
Mendapat teguran seperti itu, sang Sufi hanya tersenyum namung tersenyum. Beberapa saat kemudian beliau mencopot cincin dari jemarinya dan berucap: “Ki sanak ! teguranmu akan aku jawab, setelah kamu melakukan sesuatu yang aku minta. Dalam penasarannya, sang pemuda segera menyambut tawaran sang Sufi. Ambil cincinku ini, kemudian bawalah ke pasar di sebelah sana itu kemudian tolong tawarkan cincin ini kepada siapapun yang ada di pasar dengan harga senilai sekeping emas.
Melihat cincin Dzun Nun yang cukup usang dan kotor, sang pemuda menjadi ragu: ” sekeping emas Guru? Saya tidak yakin cincin ini bisa ditawar senilai sekeping emas.”
“Coba saja dulu ki sanak, siapa tahu kamu bisa menawarkan cincin tersebut seharga sekeping emas.” Tutur sang Sufi (meyakinkan sang pemuda).
Sang pemuda terus berangkat ke pasar sesuai yang ditunjukkan sang sufi. Ia mulai menawarkan cincin kepada para pedagang: pedagang kain, pedagang sayur, pedagang daging, dan pedagang-pedagang lainnya semua ditawari cincin tersebut.
Tapi tak ada seorangpun yang berani menawar cincin senilai sekeping emas; Mereka hanya berani menawarnya senilai sekeping perak. Mesti saja sang pemuda tidak berani menjualnya senilai sekeping perak.
Sang pemuda segera pulang dan kembali kepada Dzun Nun; “Guru, sepasar tidak ada satupun yang berani menawar cincin ini seharga sekeping emas”., mereka hanya berani menawarnya senilai sekeping perak”.
Lagi-lagi Sang Sufi hanya tersenyum mendengar keluh kesahipun sang pemuda, kemudian bertutur: “Ki sanak sekarang cobalak cincin ini kamu bawa ke tukang emas yang memiliki toko emas di belakang rumahku itu, perlihatkan cincin ini kepada beliau, kamu tak usah menawarkannya, biar beliau sendiri yang menghargai cincin ini. Pedagang emas pemilik toko emas ternyata berani menawar cincin sang sufi senilai 1000 keping emas, dan berarti 1000 kali lipat harga yang sudah ditawarkan kepada para pedagang di pasar tadi.
Dengan tersenyum sang sufi berucap kepada sang pemuda yang tengah terheran-heran: “ya ini ki sanak, inilah jawaban atas pertanyaanmu tadi. Seseorang itu tidaklah bisa dinilai hanya dari sisi luar-fisiknya saja; tidak bisa dinilai hanya dari busana yang dipakainya saja, atau penampilan yang tunjukkannya. Pedagang sayur, pedagang kain, pedagang daging, dan sakteruse saja yang menilai cincin ini senilai sekeping perak, tetapi di mata pedagang emas, cincin ini sangat berharga dan karenanya ia berani menawar senilai 1000 keping emas.
Ma’asyir al-Muslimin rahimakumullah !
Emas dan permata yang ada di dalam diri pribadi seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai melalui kedalaman jiwa. Dibutuhkan kearifan untuk meneliti dan melihatnya. Dan hal itu juga membutuhkan proses. Kita tidak bisa menilai hanya dari tutur kata serta sikap seseorang yamh kita dengar dan lihat sekilas. Tidak jarang, yang kita lihat dan kita duga emas ternyata hanya besi tua, dan tidak jarang juga yang kita lihat dan duga besi tua ternyata emas.
Ma’asyir al-Muslimin rahimakumullah!
Mari kita senantiasa berhati-hati sebelum menentukan menentukan pilihan-pilihan hidup; pilihan-pilihan calon pemimpin yang kita harap mampu mengemban amanah sebagai khalifah Allah SWT’; penentu nasib bangsa dan negeri tercinta ini.
Mari kita senantiasa mencari sekian cara untuk meraih sunnah Rasul SAW., hingga mengantar kita memiliki pribadi emas yang bernilai tinggi dihadapan Allah SWT dan di hadapan Rasulillah SAW. Semoga kita senantiasa beoleh hidayahipun Allah SWT.
Barak Allah li walakum fi al-Quran al’adhim wa nafa’any wa iyyakum bima fihi min al-ayaty wa dhikr al-hakim wa taqabb al-minny wa minkum tilawatah innahu huw as-sami’ al-‘alim.
Baca Selengkapnya ...
Ma’asyir al-Muslimin rahimakumullah!
Mari kita senantiasa bertaqwa kepada Allah SWT., dengan senantiasa mentaati syari’at-Nya. Mari kita juga senantiasa mentaati Rasullah SAW, dengan senantiasa berupaya menyempurnakan akhlak karimah.
Akhir-akhir ini, kita telah dipaksa untuk mengikti perkembangan jaman yang dihiasi dengan sikap dan perilaku tidak terpuji; kesombongan, keserakahan, perlombaan pamer; pamer ilmu; pamer ketrampilan, pamer pangkat, pamer kekayaan, dan seterusnya.
Barangkali di sepanjang jalan yang kita lalui, kita akan menjumpai gambar-gambar partai politik dengan jumlah yang tak terhitung (sangking banyaknya); juga gambar-gambar calon legislatif (Caleg) yang dengan sangat bebas mameraken diri dengan sejumlah akhlak yang tidak terpuji tadi; “akulah terbaik, akulah terpintar, akulah paling merakyat, akulah paling amanat, akulah paling teruji, lan sejumlah aku...kesombongan dan keserakahan lainnya. Mereka tampakkan penampilan lahir dengan sebaik-baiknya, sementara jiwa serta hatinya sering tidak cocok/tidak tulus dengan apa yang ditampilkan.
Di dalam akhlak Islam, Rasulullah SAW., memberikan sunnah agar kita bertutur lembut, bertindak sopan, serta bersikaf arif. Kebebasan hidup menurut sunnah Rasulillah haruslah tetap dikbatasi dengan aturan-aturan; al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW.
Semua orang memiliki kebebasan untuk bertutur dan berbuat. Tetapi menurut Islam, tidak ada kebebasan tanpa batas, dan batas-batas tersebut tak lain adalah aturan agama. Karena itu seorang Muslim sejati, akan berpikir berkali-kali sebelum bertutur atau bertindak, disamping juga memohon petunjuk kepada Allah SWT.
Rasulullah SAW., bersabda:“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berbicara yang baik atau (kalau tidak bisa berbicara yang baik) lebih baik diam” (HR. Bukhari Muslim sangka Abu Hurairah).
“Man amana bi Allah wa al-yaum al-akhir fa al-yaqu al-khair aw liyashmut”Sebuah kata bijak bertutur: “Think today and speak tomorrow” (Berpiklah hari ini dan bicaralah esuknya).
Kalau ucapan kita tidak baik, apalagi kalau sampai menyakiti orang lain, maka lebih baik di tahan, jangan diucapkan. Tetapi kalau ucapan kita benar dan baik, maka lebih baik kita ucapkan, dan jangan ditahan.
Berkaitan dengan kebebasan tersebut, malaikat Jibril as. Pernah diutus Allah SWT untuk menyampaikan rambu-rambu hidup. Rasul SAW menyampaikan masalah ini di dalam hadisnya:“Jibril pernah mendatangiku dan bertutur: “Wahai Muhammad hiduplah kamu sesukamu, tetapi sesungguhnya kamuakan mati suatu saat, cintailah apa-apa yang kamu cintai sesuka hatimu, tetaopi suatu saat kamu akan berpisah dengannya, dan bertindaklah sesukamu, sesungguhnya semua perbuatan ada balasannya.” (HR. Baihaqy saka Jabir)
Ma’asyir al-Muslimin rahimakumullah!
Sabda Rasul SAW ini menjadi semakin relevan kita renungi, mengingat akhir-akhir ini, atas nama dalih kebebasan, banyak orang bertutur tanpa logika serta data yang benar (akurat), dan bertindak semaunya tanpa mengindahkan etika agama. Para cerdik (para pakar) barangkali, di jaman seperti ini, akan lebih bijaksana ketika mereka lebih banyak mendengarkan daripada bertutur (yang tidak jarang justru malah membingungkan masyarakat).
Ma’asyir al-Muslimin rahimakumullah!
Generasi berhati berhati emas diharap akan senantiasa bermunculan terutama di tengah-tengah kondisi seperti ini. Emas tetaplah emas dan takkan pernah rusak karena bergabung dengan barang-barang lainnya.
Suatu saat Guru Besar shufi; Dzun Nun Al-Mishri, ditegur seorang pemuda; “Guru, saya sulit memahami Anda, kenapa orang terhormat seperti Anda selalu berpakaian kaya begini?; sangat sederhana. Bukankah di jaman seperti ini berbusana indah dan bagus sangat dibutuhkan; tidak Cuma untuk tujuan berpenampilan keren, tetapi lebih jauh juga bisa dipakai untuk berbagai tujuan.?”
Mendapat teguran seperti itu, sang Sufi hanya tersenyum namung tersenyum. Beberapa saat kemudian beliau mencopot cincin dari jemarinya dan berucap: “Ki sanak ! teguranmu akan aku jawab, setelah kamu melakukan sesuatu yang aku minta. Dalam penasarannya, sang pemuda segera menyambut tawaran sang Sufi. Ambil cincinku ini, kemudian bawalah ke pasar di sebelah sana itu kemudian tolong tawarkan cincin ini kepada siapapun yang ada di pasar dengan harga senilai sekeping emas.
Melihat cincin Dzun Nun yang cukup usang dan kotor, sang pemuda menjadi ragu: ” sekeping emas Guru? Saya tidak yakin cincin ini bisa ditawar senilai sekeping emas.”
“Coba saja dulu ki sanak, siapa tahu kamu bisa menawarkan cincin tersebut seharga sekeping emas.” Tutur sang Sufi (meyakinkan sang pemuda).
Sang pemuda terus berangkat ke pasar sesuai yang ditunjukkan sang sufi. Ia mulai menawarkan cincin kepada para pedagang: pedagang kain, pedagang sayur, pedagang daging, dan pedagang-pedagang lainnya semua ditawari cincin tersebut.
Tapi tak ada seorangpun yang berani menawar cincin senilai sekeping emas; Mereka hanya berani menawarnya senilai sekeping perak. Mesti saja sang pemuda tidak berani menjualnya senilai sekeping perak.
Sang pemuda segera pulang dan kembali kepada Dzun Nun; “Guru, sepasar tidak ada satupun yang berani menawar cincin ini seharga sekeping emas”., mereka hanya berani menawarnya senilai sekeping perak”.
Lagi-lagi Sang Sufi hanya tersenyum mendengar keluh kesahipun sang pemuda, kemudian bertutur: “Ki sanak sekarang cobalak cincin ini kamu bawa ke tukang emas yang memiliki toko emas di belakang rumahku itu, perlihatkan cincin ini kepada beliau, kamu tak usah menawarkannya, biar beliau sendiri yang menghargai cincin ini. Pedagang emas pemilik toko emas ternyata berani menawar cincin sang sufi senilai 1000 keping emas, dan berarti 1000 kali lipat harga yang sudah ditawarkan kepada para pedagang di pasar tadi.
Dengan tersenyum sang sufi berucap kepada sang pemuda yang tengah terheran-heran: “ya ini ki sanak, inilah jawaban atas pertanyaanmu tadi. Seseorang itu tidaklah bisa dinilai hanya dari sisi luar-fisiknya saja; tidak bisa dinilai hanya dari busana yang dipakainya saja, atau penampilan yang tunjukkannya. Pedagang sayur, pedagang kain, pedagang daging, dan sakteruse saja yang menilai cincin ini senilai sekeping perak, tetapi di mata pedagang emas, cincin ini sangat berharga dan karenanya ia berani menawar senilai 1000 keping emas.
Ma’asyir al-Muslimin rahimakumullah !
Emas dan permata yang ada di dalam diri pribadi seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai melalui kedalaman jiwa. Dibutuhkan kearifan untuk meneliti dan melihatnya. Dan hal itu juga membutuhkan proses. Kita tidak bisa menilai hanya dari tutur kata serta sikap seseorang yamh kita dengar dan lihat sekilas. Tidak jarang, yang kita lihat dan kita duga emas ternyata hanya besi tua, dan tidak jarang juga yang kita lihat dan duga besi tua ternyata emas.
Ma’asyir al-Muslimin rahimakumullah!
Mari kita senantiasa berhati-hati sebelum menentukan menentukan pilihan-pilihan hidup; pilihan-pilihan calon pemimpin yang kita harap mampu mengemban amanah sebagai khalifah Allah SWT’; penentu nasib bangsa dan negeri tercinta ini.
Mari kita senantiasa mencari sekian cara untuk meraih sunnah Rasul SAW., hingga mengantar kita memiliki pribadi emas yang bernilai tinggi dihadapan Allah SWT dan di hadapan Rasulillah SAW. Semoga kita senantiasa beoleh hidayahipun Allah SWT.
Barak Allah li walakum fi al-Quran al’adhim wa nafa’any wa iyyakum bima fihi min al-ayaty wa dhikr al-hakim wa taqabb al-minny wa minkum tilawatah innahu huw as-sami’ al-‘alim.
Baca Selengkapnya ...
0 komentar:
Posting Komentar