KEJUJURAN
Published by ridokurnianto under Khutbah on 21.23
Alhamdul Allah Rabb al-‘alamin, as-shalat wa as-salam ‘ala rasulih al-karim wa ‘ala alihi wa ash habihi ajma’in.Asyhadu an-la ilaha illa Allah wahdahu la syarika lah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh. Allahumma shally wa sallim ‘ala Muhammadin wa ‘ala alihi wa a sh habihi ajma’in Wa ba’d. Fa ya ‘ibad Allah ushiny wa iyyakum bi at-taqw Allah wa tha’atih la’allakum tuflihun.
Ma’asyir al-Muslimin !
Alhamdulillah, mari kita munajatkan kesyukuran yang tulus kehadirat Allah SWT., atas semua rahmat yang telah Allah curahkan kepada kita, seraya berharap kepada-Nya agar kita dijadikan hamba-Nya yang pandai mensyukuri nikmat dan karena itu Allah jadikan hati kita semakin dekat kepada Allah, semakin peka untuk menerima hidayah-Nya; mampu dengan mudah menangkap kebajikan dengan segala jenis dan bentuknya sekaligus merasa ringan dan tulus mengamalkannya; kita juga mampu menangkap keburukan, kejelekan dengan segala jenis dan bentuknya sekaligus mampu menahan dan menjauhinya.
Ma’asyir al-Muslimin !
Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu masuk golongan orang-rang yang jujur” (QS. At-Taubah (9): 119)
Ketika menginjak dewasa, Muhyidin Abdul Qadir al-Jilani (seorang anak muda yang nantinya tumbuh menjadi seorang ulama dan tokoh sufi besar dunia), dikirim oleh orang tuanya ke negeri Bagdad (Irak) untuk keperluan thalabul ilmi, menempuh pendidikan tinggi di Madrasah Nizamiyah, beliau berangkat bersamaan dengan rombongan kafilah dagang. Dalam perjalanan rombongan kafilah itu dicegat oleh begal. Satu per-satu anggota rombongan dirampas harta benda yang dibawanya. Dan ketika sampai giliran anak muda yang oleh ibunya hanya dibekali dengan bekal seadanya itu, para garong itu tidak menemukaken sesuatu apapun, kecuali hanya peralatan tidur serta beberapa pakaian kumal.
Apakah kamu membawa sesuatu? Pertanyaan seorang begundal dengan galak. ”ya,betul tuan, aku membawa uang sebesar 40 dinar”, jawab sang pemuda. Tetapi saat para begal itu melakukan penggeledahan di dalam peralatan tidur dan pakaian kumal tersebut, dia tidak menemukan apapun. Para begal yakin bahwa anak tersebut hanyalah seorang anak miskin yang sombong. Karena itu para begal meninggalkannya, dan seterusnya mereka menggeledah harta benda milik anggota rombongan yang lain.
Singkatnya, setelah para begal sudah selesai merampas semua harta milik para kafilah, kawanan begal tersebut melapor kepada pimpinan gengnya, ihwal pemuda miskin yang dinilai berlagak kaya dan sombong tersebut. Pimpinan geng nampaknya sangat tertarik dengan cerita itu hingga akhirnya minta kepada seorang anak buahnya untuk membawa sang pemuda yang menurut penilaiannya unik tersebut untuk menghadap padanya.
Begitu berada didepannya, pimpinan begal langsung bertanya: ”Hei,anak muda! Katanya kamu mempunyai uang sebesar 40 dinar ?” , Dengan begitu tenangnya sang pemuda menjawab: Ya, benar tuan!, ”kalau benar coba tunjukkan kepadaku !” Pemimpin garong membentak-bentak nampak tidak sabar. Sang pemuda kemudian mengoyak bagian bajunya terus mengeluarkan uang sebesar 40 dinar (persis seperti yang dia sampaikan) yang memang disimpan dibalik bajunya. Para begal termangu, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Begitupun sang pemimpin begal, dengan dipenuhi sejuta rasa heran dan takjub, dia bertanya: ”kenapa kamu tunjukkan harta bendamu yng sangat berharga bagi hidupmu?” Toh, andaikan kamu tidak menunjukkannya padaku, aku juga tak akan curiga”.,
Ma’asyir al-Muslimin !
Sang pemuda menanggapi pertanyaan tersebut dengan sangat enteng: ”Betul tuan, Cuma aku takkan pernah bisa melupakan nasehat ibuku (ya, orang tuaku yang telah memberikan bekal uang 40 dinar ini dan beliau jahitkan dibalik bajuku ini tadi demi keamanan), beliau berpesan begini; ”anakku! Sekali-kali jangan sampai kamu berdusta kepada siapapun.”
Allahu Akbar!
Pemimpin begal, seolah-olah mendapatkan tamparan keras, menerima smash telak mendengar keterangan yang begitu jujur dan polos dari sang pemuda itu. Bukan kemarahan, bukan emosi yang terjadi pada diri sang begal, melainkan keharuan yang begitu dalam. Pemimpin begal yang kejam dan bengis tersebut menangis, tidak kuasa menahan haru yang begitu menoreh kalbu. Dia kemudian bergumam pada dirinya sendiri: ”Anak muda ini dalam kondisi kritis berhadapan dengan kawanan yang mau merampas harta miliknya yang paling berharga saja masih setia, taat kepada orang tuanya, sedangkan aku...jangankan taat kepada orang tuaku, kepada Tuhan yang telah menciptakan diriku saja, aku tak pernah mau taat”
Subhanallah! Begitu dalam pengaruh peristiwa itu menghunjam hati sanubari, Pemimpin perampok dan kemudian diikuti oleh semua anak buahnya, serta merta mengembalikan seluruh harta benda yang telah mereka rampas dari rombongan kafilah dagang tersebut, mereka bertaubat kembali ke jalan yang lurus, jalan Allah SWT.
Ma’asyir al-Muslimin !
Dalam Ihya ’Ulumuddin (karya Imam Ghazali; Allahu yarhamhu, dikisahkan ada seorang tabi’i (generasi setelah sahabat), di Basrah berprofesi sebagai saudagar kaya raya. Ia mengirim memo kepada seorang pelayannya agar memborong gula; (memonya kurang lebih begini)”cepat beli gula karena panen tebu tahun ini terancam gagal”. Pelayan yang ditunjuk segera memborong gula dalam jumlah besar dari seorang tengkulak. Dan tabi’i itupun beruntung sampai 30.000 dirham (sebuah keuntungan yang cukup fantastis).
Namun malam harinya, semalaman ia berpikir dalam suasana cemas gundah. Dalam hatinya ia berkata: ”Saya untung 30.000 dirham, tetapi sekaligus saya telah rugi besar, karena tidak jujur kepada orang”. Esok harinya, ia mendatangi pedagang gula dan mengembalikan semua keuntungan yang diperolehnya kepada tengkulak tersebut. Ia berkata sambil memberikan uang: ”semoga Allah memberkati kamu dengan uang ini, terimalah!”.
”Dari mana uang sebanyak ini tuan ?” tanya tengkulak. Jawabnya: ”Saya telah menyembunyikan sesuatu darimu”. Terus terang, ketika saya memborong gula darimu tempo hari, harganya sebenarnya sudah naik. Tuan menjual ke saya dengan harga jauh lebih rendah”.
”Semoga Allah merahmati tuan, sekarang saya sudah tahu. Jadi dengan senang hati saya berikan kembali kepada tuan”. Kata tengkulak sambil memberikan uang yang sebenarnya sudah diserahkan dengan tulus oleh saudagar tadi.
”Wah, kalau begitu saya sampaikan terimakasih, saya terima kembali ung ini”
Tetapi sesampai di rumah, pikiran saudagar tadi kacau kembali. ”Saya tidak jujur kepadanya”, mungkin saja ia malu menerimanya, hingga mengembalikan uang yang saya berikan”. Esok harinya sudagar tadi datang ke pedagang gula lagi. ”Semoga Allah memberimu kesehatan. Ambillah uang ini, ini hak tuan sepenuhnya, terimalah agar hati saya tenang.”
Ma’asyir al-Muslimin !
Masih dari Al-Ghazali, dikisahkan, Yunus bin ’Ubaid menjual berbagai macam pakaian. Diantaranya ada yang harganya 400 dirhan dan 200 dirham. Saat ia pergi ke Masjid, ia meminta sepupunya agar menjaga tokonya. Datanglah seorang Badui yang ingin membeli pakaian seharga 400 dirham. Sepupu Yunus keliru memberikan pakaian yang seharga 200 dirham. Dalam perjalanan pulang, Badui berpapasan dengan Yunus, dan serta merta Yunus tahu kalau baju yang dibawa Badui berasal dari tokonya. ”Berapa tuan beli pakaian ini?” tanya Yunus. ”400 dirham” jawab Badui. Kata Yunus; ”lo ini hanya seharga 200 dirham, mari kembali ke toko, biar saya kembalikan kelebihannya”. Tapi Badui malah memberikan keterangan: ”Di kampung kami baju seperti ini seharga 500 dirham, jadi sudahlah, saya sudah rela kok”. Yunus tetap bersikukuh: ”Mari kembali! Kejujuran lebih baik daripada dunia dan isinya.”
Hadirin !
Kisah Abdul Qadir muda dan dua kisah lainnya di atas, bukanlah sebuah epos, yang umumnya dimonopoli kaum bangsawan (kaum borjuis). Itu cerita orang biasa yang masih percaya pada nilai-nilai kejujuran, ketulusan, meskipun kebanyakan orang sekarang melihatnya sebagai tindakan bodoh.
Dari riwayat Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda:
”Jika seorang hamba tetap bertindak jujur dan berteguh hati untuk bertindak jujur, maka ia akan ditulis di sisi Allah Ta’ala sebagai orang yang jujur. Dan jika ia tetap berdusta dan berteguh hati untuk berbuat dusta, maka ia akan ditulis Allah sebagai pendusta. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Ma’asyir al-Muslimin !
Suatu ketika, Rasul SAW pernah ditanya:
”Wahai Rasul Allah!Apakah orang mukmin bisa menjadi seorang penakut? Beliau menjawab; ”ya, bisa, Beliau ditanya lagi: ”Apakah orang mukmin bisa menjadi seorang yang kikir?”, Beliau menjawab: ya, bisa., Ketika beliau ditanya: ”Apakah orang mukmin bisa menjadi seorang pendusta?”., Beliau menjawab: ”Tidak” (HR. Imam Malik)
Semakin seseorang berdusta, semakin besar pula dosanya kepada Allah SWT.;
”Di suatu malam aku bermimpi bertemu dengan dua orang yang mendatangiku. Salah satu dari mereka berkata kepadaku: ”Yang tuan lihat orang yang banyak ngomongnya itu adalah pendusta! Dia sedang cerita kebohongan yang dampaknya akan menyebar ke segala penjuru.Disebabkan oleh kebohongan itu dia akan memikul dosana hingga datangnya hari kiamat.” (HR. Bukhari)
Sementara di mata para malaikat, dusta, bohong ternyata sangat-sangat menjijikkan, sampai-sampai digambarkan laiknya seonggok bangkai.
”Ketika seseorang berdusta, malaikat menjauh dari pendusta itu disebabkan mereka (para malaikat) tidak tahan dengan bau busuk (bau bangkai) yang berasal dari dustanya tersebut.” (HR. Tirmidzi)
Ma’asyir al-Muslimin !
Berkata yang benar, jujur, akan mendorong pelakunya (orang yang bersangkutan) untuk berbuat benar dan jujur, serta menjadikannya selalu baik dalam segala keadaan. Berhati-hati di dalam menjaga kejujuran akan memancarkan cahaya terang di dalam hati dan pikiran. Karena itulah Allah SWT berfirman:
”Wahai orang-orang yang ber iman,hendaklah kamu bertakwa kepada Allah dan hendaklah kamu berkata dengan perkataan yang benar (jujur). Maka Allah akan memperbaiki amal kalian dan memaafkan dosa kalian. Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia memperoleh keuntungan yang sangat besar.” (QS. Al—Ahzab: 70-71)
Ma’asyir al-Muslimin !
Rasulullah SAW telah mengajarkan mengajarkan kepada para orang tua tentang cara mengasuh anak. Sebuah asuhan dan pendidikan yang wajib dititikberatkan pada kebiasaan berkata benar, dengan tujuan, supaya para putra (anak) itu terjauhkan dari kebiasaan berdusta, kebiasaan berbohong. Bilamana seorang ibu (atau anggota keluarga yang lain) sudah menganggap remeh sebuah kedustaan, kebohongan kepada anak-anaknya (atau anggota keluarga yang masih berusia kecil), maka besar kemungkinan, saat para anak tadi tumbuh dewasa memiliki kebiasaan memandang kebohongan, kedustaan sebagai sebuah hal, sebuah masalah yang remeh dan biasa. Akibatnya, kita bisa membayangkan; disamping keadilan dan ketentraman hidup takkan pernah bisa ditegakkan, disisi lain, disisi Allah SWT kebohongan, kedustaan adalah dosa yang teramat besar.
”Barang siapa mengucapkan kepada anak; ”Ayo,ini untukmu,kemudian ia tidak memberikan apapun kepada anak, ucapan itu termasuk kebohongan.” (HR. Imam Ahmad bin Hambal)
Yang perlu kita cermati, kejujuran itu ternyata tidak bersifat kondisional, angin-anginan, tetapi didasarkan dan disandarkan pada suasana hati yang tulus. Semakin iman kita kepada Allah mapan, maka berarti semakin kita tumbuh sebagai hamba-Nya yang jujur. Mari kita bangun kejujuran, kita sebarkan kejujuran di segala kesempatan; baik melalui ucap, sikap, dan tindak kita. Kita bangun budaya jujur dalam diri kita, keluarga kita, dan masyarakat kita. Mudah-mudahan Allah SWT segera mengembalikan masyarakat dan negeri tercinta ini menjadi masyarakat dan negeri yang senantiasa beroleh rahmat serta barakah Allah SWT. ”Rabbana atina fi ad-dunya hasanah wa fi al-akhirat hasanat wa qina ’adzab an-nar.” Wa qul Rabb Ighfir wa irham wa anta khar ar-rihimin.”
Baca Selengkapnya ...
Ma’asyir al-Muslimin !
Alhamdulillah, mari kita munajatkan kesyukuran yang tulus kehadirat Allah SWT., atas semua rahmat yang telah Allah curahkan kepada kita, seraya berharap kepada-Nya agar kita dijadikan hamba-Nya yang pandai mensyukuri nikmat dan karena itu Allah jadikan hati kita semakin dekat kepada Allah, semakin peka untuk menerima hidayah-Nya; mampu dengan mudah menangkap kebajikan dengan segala jenis dan bentuknya sekaligus merasa ringan dan tulus mengamalkannya; kita juga mampu menangkap keburukan, kejelekan dengan segala jenis dan bentuknya sekaligus mampu menahan dan menjauhinya.
Ma’asyir al-Muslimin !
Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu masuk golongan orang-rang yang jujur” (QS. At-Taubah (9): 119)
Ketika menginjak dewasa, Muhyidin Abdul Qadir al-Jilani (seorang anak muda yang nantinya tumbuh menjadi seorang ulama dan tokoh sufi besar dunia), dikirim oleh orang tuanya ke negeri Bagdad (Irak) untuk keperluan thalabul ilmi, menempuh pendidikan tinggi di Madrasah Nizamiyah, beliau berangkat bersamaan dengan rombongan kafilah dagang. Dalam perjalanan rombongan kafilah itu dicegat oleh begal. Satu per-satu anggota rombongan dirampas harta benda yang dibawanya. Dan ketika sampai giliran anak muda yang oleh ibunya hanya dibekali dengan bekal seadanya itu, para garong itu tidak menemukaken sesuatu apapun, kecuali hanya peralatan tidur serta beberapa pakaian kumal.
Apakah kamu membawa sesuatu? Pertanyaan seorang begundal dengan galak. ”ya,betul tuan, aku membawa uang sebesar 40 dinar”, jawab sang pemuda. Tetapi saat para begal itu melakukan penggeledahan di dalam peralatan tidur dan pakaian kumal tersebut, dia tidak menemukan apapun. Para begal yakin bahwa anak tersebut hanyalah seorang anak miskin yang sombong. Karena itu para begal meninggalkannya, dan seterusnya mereka menggeledah harta benda milik anggota rombongan yang lain.
Singkatnya, setelah para begal sudah selesai merampas semua harta milik para kafilah, kawanan begal tersebut melapor kepada pimpinan gengnya, ihwal pemuda miskin yang dinilai berlagak kaya dan sombong tersebut. Pimpinan geng nampaknya sangat tertarik dengan cerita itu hingga akhirnya minta kepada seorang anak buahnya untuk membawa sang pemuda yang menurut penilaiannya unik tersebut untuk menghadap padanya.
Begitu berada didepannya, pimpinan begal langsung bertanya: ”Hei,anak muda! Katanya kamu mempunyai uang sebesar 40 dinar ?” , Dengan begitu tenangnya sang pemuda menjawab: Ya, benar tuan!, ”kalau benar coba tunjukkan kepadaku !” Pemimpin garong membentak-bentak nampak tidak sabar. Sang pemuda kemudian mengoyak bagian bajunya terus mengeluarkan uang sebesar 40 dinar (persis seperti yang dia sampaikan) yang memang disimpan dibalik bajunya. Para begal termangu, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Begitupun sang pemimpin begal, dengan dipenuhi sejuta rasa heran dan takjub, dia bertanya: ”kenapa kamu tunjukkan harta bendamu yng sangat berharga bagi hidupmu?” Toh, andaikan kamu tidak menunjukkannya padaku, aku juga tak akan curiga”.,
Ma’asyir al-Muslimin !
Sang pemuda menanggapi pertanyaan tersebut dengan sangat enteng: ”Betul tuan, Cuma aku takkan pernah bisa melupakan nasehat ibuku (ya, orang tuaku yang telah memberikan bekal uang 40 dinar ini dan beliau jahitkan dibalik bajuku ini tadi demi keamanan), beliau berpesan begini; ”anakku! Sekali-kali jangan sampai kamu berdusta kepada siapapun.”
Allahu Akbar!
Pemimpin begal, seolah-olah mendapatkan tamparan keras, menerima smash telak mendengar keterangan yang begitu jujur dan polos dari sang pemuda itu. Bukan kemarahan, bukan emosi yang terjadi pada diri sang begal, melainkan keharuan yang begitu dalam. Pemimpin begal yang kejam dan bengis tersebut menangis, tidak kuasa menahan haru yang begitu menoreh kalbu. Dia kemudian bergumam pada dirinya sendiri: ”Anak muda ini dalam kondisi kritis berhadapan dengan kawanan yang mau merampas harta miliknya yang paling berharga saja masih setia, taat kepada orang tuanya, sedangkan aku...jangankan taat kepada orang tuaku, kepada Tuhan yang telah menciptakan diriku saja, aku tak pernah mau taat”
Subhanallah! Begitu dalam pengaruh peristiwa itu menghunjam hati sanubari, Pemimpin perampok dan kemudian diikuti oleh semua anak buahnya, serta merta mengembalikan seluruh harta benda yang telah mereka rampas dari rombongan kafilah dagang tersebut, mereka bertaubat kembali ke jalan yang lurus, jalan Allah SWT.
Ma’asyir al-Muslimin !
Dalam Ihya ’Ulumuddin (karya Imam Ghazali; Allahu yarhamhu, dikisahkan ada seorang tabi’i (generasi setelah sahabat), di Basrah berprofesi sebagai saudagar kaya raya. Ia mengirim memo kepada seorang pelayannya agar memborong gula; (memonya kurang lebih begini)”cepat beli gula karena panen tebu tahun ini terancam gagal”. Pelayan yang ditunjuk segera memborong gula dalam jumlah besar dari seorang tengkulak. Dan tabi’i itupun beruntung sampai 30.000 dirham (sebuah keuntungan yang cukup fantastis).
Namun malam harinya, semalaman ia berpikir dalam suasana cemas gundah. Dalam hatinya ia berkata: ”Saya untung 30.000 dirham, tetapi sekaligus saya telah rugi besar, karena tidak jujur kepada orang”. Esok harinya, ia mendatangi pedagang gula dan mengembalikan semua keuntungan yang diperolehnya kepada tengkulak tersebut. Ia berkata sambil memberikan uang: ”semoga Allah memberkati kamu dengan uang ini, terimalah!”.
”Dari mana uang sebanyak ini tuan ?” tanya tengkulak. Jawabnya: ”Saya telah menyembunyikan sesuatu darimu”. Terus terang, ketika saya memborong gula darimu tempo hari, harganya sebenarnya sudah naik. Tuan menjual ke saya dengan harga jauh lebih rendah”.
”Semoga Allah merahmati tuan, sekarang saya sudah tahu. Jadi dengan senang hati saya berikan kembali kepada tuan”. Kata tengkulak sambil memberikan uang yang sebenarnya sudah diserahkan dengan tulus oleh saudagar tadi.
”Wah, kalau begitu saya sampaikan terimakasih, saya terima kembali ung ini”
Tetapi sesampai di rumah, pikiran saudagar tadi kacau kembali. ”Saya tidak jujur kepadanya”, mungkin saja ia malu menerimanya, hingga mengembalikan uang yang saya berikan”. Esok harinya sudagar tadi datang ke pedagang gula lagi. ”Semoga Allah memberimu kesehatan. Ambillah uang ini, ini hak tuan sepenuhnya, terimalah agar hati saya tenang.”
Ma’asyir al-Muslimin !
Masih dari Al-Ghazali, dikisahkan, Yunus bin ’Ubaid menjual berbagai macam pakaian. Diantaranya ada yang harganya 400 dirhan dan 200 dirham. Saat ia pergi ke Masjid, ia meminta sepupunya agar menjaga tokonya. Datanglah seorang Badui yang ingin membeli pakaian seharga 400 dirham. Sepupu Yunus keliru memberikan pakaian yang seharga 200 dirham. Dalam perjalanan pulang, Badui berpapasan dengan Yunus, dan serta merta Yunus tahu kalau baju yang dibawa Badui berasal dari tokonya. ”Berapa tuan beli pakaian ini?” tanya Yunus. ”400 dirham” jawab Badui. Kata Yunus; ”lo ini hanya seharga 200 dirham, mari kembali ke toko, biar saya kembalikan kelebihannya”. Tapi Badui malah memberikan keterangan: ”Di kampung kami baju seperti ini seharga 500 dirham, jadi sudahlah, saya sudah rela kok”. Yunus tetap bersikukuh: ”Mari kembali! Kejujuran lebih baik daripada dunia dan isinya.”
Hadirin !
Kisah Abdul Qadir muda dan dua kisah lainnya di atas, bukanlah sebuah epos, yang umumnya dimonopoli kaum bangsawan (kaum borjuis). Itu cerita orang biasa yang masih percaya pada nilai-nilai kejujuran, ketulusan, meskipun kebanyakan orang sekarang melihatnya sebagai tindakan bodoh.
Dari riwayat Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda:
”Jika seorang hamba tetap bertindak jujur dan berteguh hati untuk bertindak jujur, maka ia akan ditulis di sisi Allah Ta’ala sebagai orang yang jujur. Dan jika ia tetap berdusta dan berteguh hati untuk berbuat dusta, maka ia akan ditulis Allah sebagai pendusta. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Ma’asyir al-Muslimin !
Suatu ketika, Rasul SAW pernah ditanya:
”Wahai Rasul Allah!Apakah orang mukmin bisa menjadi seorang penakut? Beliau menjawab; ”ya, bisa, Beliau ditanya lagi: ”Apakah orang mukmin bisa menjadi seorang yang kikir?”, Beliau menjawab: ya, bisa., Ketika beliau ditanya: ”Apakah orang mukmin bisa menjadi seorang pendusta?”., Beliau menjawab: ”Tidak” (HR. Imam Malik)
Semakin seseorang berdusta, semakin besar pula dosanya kepada Allah SWT.;
”Di suatu malam aku bermimpi bertemu dengan dua orang yang mendatangiku. Salah satu dari mereka berkata kepadaku: ”Yang tuan lihat orang yang banyak ngomongnya itu adalah pendusta! Dia sedang cerita kebohongan yang dampaknya akan menyebar ke segala penjuru.Disebabkan oleh kebohongan itu dia akan memikul dosana hingga datangnya hari kiamat.” (HR. Bukhari)
Sementara di mata para malaikat, dusta, bohong ternyata sangat-sangat menjijikkan, sampai-sampai digambarkan laiknya seonggok bangkai.
”Ketika seseorang berdusta, malaikat menjauh dari pendusta itu disebabkan mereka (para malaikat) tidak tahan dengan bau busuk (bau bangkai) yang berasal dari dustanya tersebut.” (HR. Tirmidzi)
Ma’asyir al-Muslimin !
Berkata yang benar, jujur, akan mendorong pelakunya (orang yang bersangkutan) untuk berbuat benar dan jujur, serta menjadikannya selalu baik dalam segala keadaan. Berhati-hati di dalam menjaga kejujuran akan memancarkan cahaya terang di dalam hati dan pikiran. Karena itulah Allah SWT berfirman:
”Wahai orang-orang yang ber iman,hendaklah kamu bertakwa kepada Allah dan hendaklah kamu berkata dengan perkataan yang benar (jujur). Maka Allah akan memperbaiki amal kalian dan memaafkan dosa kalian. Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia memperoleh keuntungan yang sangat besar.” (QS. Al—Ahzab: 70-71)
Ma’asyir al-Muslimin !
Rasulullah SAW telah mengajarkan mengajarkan kepada para orang tua tentang cara mengasuh anak. Sebuah asuhan dan pendidikan yang wajib dititikberatkan pada kebiasaan berkata benar, dengan tujuan, supaya para putra (anak) itu terjauhkan dari kebiasaan berdusta, kebiasaan berbohong. Bilamana seorang ibu (atau anggota keluarga yang lain) sudah menganggap remeh sebuah kedustaan, kebohongan kepada anak-anaknya (atau anggota keluarga yang masih berusia kecil), maka besar kemungkinan, saat para anak tadi tumbuh dewasa memiliki kebiasaan memandang kebohongan, kedustaan sebagai sebuah hal, sebuah masalah yang remeh dan biasa. Akibatnya, kita bisa membayangkan; disamping keadilan dan ketentraman hidup takkan pernah bisa ditegakkan, disisi lain, disisi Allah SWT kebohongan, kedustaan adalah dosa yang teramat besar.
”Barang siapa mengucapkan kepada anak; ”Ayo,ini untukmu,kemudian ia tidak memberikan apapun kepada anak, ucapan itu termasuk kebohongan.” (HR. Imam Ahmad bin Hambal)
Yang perlu kita cermati, kejujuran itu ternyata tidak bersifat kondisional, angin-anginan, tetapi didasarkan dan disandarkan pada suasana hati yang tulus. Semakin iman kita kepada Allah mapan, maka berarti semakin kita tumbuh sebagai hamba-Nya yang jujur. Mari kita bangun kejujuran, kita sebarkan kejujuran di segala kesempatan; baik melalui ucap, sikap, dan tindak kita. Kita bangun budaya jujur dalam diri kita, keluarga kita, dan masyarakat kita. Mudah-mudahan Allah SWT segera mengembalikan masyarakat dan negeri tercinta ini menjadi masyarakat dan negeri yang senantiasa beroleh rahmat serta barakah Allah SWT. ”Rabbana atina fi ad-dunya hasanah wa fi al-akhirat hasanat wa qina ’adzab an-nar.” Wa qul Rabb Ighfir wa irham wa anta khar ar-rihimin.”
Baca Selengkapnya ...
0 komentar:
Posting Komentar