Assalamualaikum

ABRAR & FUJJAR; PILIHAN HIDUP MANUSIA

Published by ridokurnianto under on 22.17
Alhamduli Allah nahmaduhu wa nasta’inuhu wa nastaghfiruh, wa na’udzubi Allah min sururi anfusina wa sayyi’aty a’malina man yahdi Allahu fahuw al-muhtady wa man yudhlil fa lan tajida lahu waliyy am-mursyida. Asyhadu an-la ilaha illa Allah wahdahu la syarika lah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh. Allahumma fa shally wa sallim ‘ala Muhammadin wa ‘ala alihi wa ash habihi ajma’in. Amma ba’d. Fay a ikhwan al-kiram, ittaq Allah haqqa tuqatih wa la tamutunna illa wa antum muslimun.
Ma’asyir al-Muslimin !
Allah SWT berfirman di dalam QS. Al-Infithar: 13-14:
”Sesungguhnya orang-orang yang thaat (kepada Allah) berada di dalam surga yang penuh ni’mat, dan sesungguhnya orang-orang yang ingkar (kepada Allah) berada dalam neraka yang penuh siksa yang mengerikan“.
Secara tegas Allah SWT membagi kelompok manusia dalam dua jenis; kelompok taat dan kelompok ingkar. Bagi dua kelompok ini, pula, Allah telah mengabarkan dengan sangat jelas terkait dengan konsekuensi yang bakal diterima; bagi kelompok taat akan beroleh surga-Nya dan bagi kelompok ingkar akan beroleh neraka-Nya. Ketentuan surga dan neraka itu, ternyata tidak terbatas hanya di kehidupan akhirat, tetapi meliputi dan menyebar ke dalam seluruh proses kehidupan yang mengiringi manusia sebelum mereka benar-benar berada dalam alam akhirat. Konsekuensi pilihan hidup tersebut akan menyebar; (1) di alam dunia; (2) di alam transisi setelah kematian dan masa tunggu kiamat, yakni di alam barzakh; dan (3) puncaknya di alam akhirat yang abadi.
Di dalam kitab Al-Jawab al-Kafi, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, menulis keterangan ini: ”Kaliyan jangan mengira, bahwa apa yang dikatakan Allah di dalam QS. Al-Infithar: 13-14 itu hanya terbatas dan berlaku hanya di kehidupan akhirat saja, tetapi ketentuan itu berlaku di tiga alam; alam dunia, alam barzakh, dan alam akhirat.”

Ma’asyira al-Muslimin !
Surga Allah yang diterima oleh orang-orang yang taat dan neraka-Nya yang ditimpakan kepada orang-orang yang ingkar, lebih berorienasi kepada rasa; rasa hati, rasa jiwa. Orang-orang taat senantiasa akan merasakan kedamaian hati, ketentraman jiwa di semua alam kehidupan. Sementara, orang-orang ingkar akan senantiasa merasakan kecemasan hati, suasana jiwa yang selalu tertekan, juga di semua alam kehidupan. Tidak bisa merasakan nikmatnya hidup di alam dunia, melebihi orang-orang yang taat kepada Allah SWT. Rasulullah SAW memang pernah bersabda:
“Dunia itu menjadi penjara bagi orang-orang beriman dan menjadi surga bagi orang-orang kafir.” (HR. Muslim)
Hadis ini tidaklah berarti, bahwa orang-orang yang taat kepada Allah, akan memperoleh kehidupan yang menderita, disebabkan hidupnya yang lekat dengan kekurangan dan kemiskinan. Dan karena itu pula, tidak perlu disikapi dengan sikap hidup fatalis. Kanjeng Rasul SAW telah memberikan bukti dan contoh riil, sikap hidup yang mesti ditampilkan oleh kaum beriman; orang-orang yang taat kepada Allah SWT., sebagaimana dipaparkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab “Fath al-Barr” Syarah Shahih Bukhari ;
“Suatu hari, dengan memakai busana yang layak (untuk tidak mengatakan mewah), Rasulullah mengendarai seekor baghal (sejenis kuda berukuran kecil) yang tergolong gagah. Di tengah perjalanan, Beliau berpapasan dengan seorang Yahudi penjual minyak samin. Pakaian yang dikenakan kelihatan berlepotan minyak, kumuh, kotor, hingga kelihatan hidupnya sangat susah diderita kemelaratan. Si Yahudi itu nampaknya penasaran dengan gaya hidup Rasulullah yang barusan ia temui di tengah perjalanan, lantas ketika ia ketemu Ibnu Hajar, ia ungkapkan rasa penasarannya itu: Ia bertanya kepada Ibu Hajar: “Apa tidak keliru apa yang dikatakan oleh Nabimu, bahwa dunia itu penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir? Kenapa saya yang kafir tidak menemui surga tetapi malah sengsara seperti yang tuan lihat ini, sementara tuan yang termasuk orang beriman bisa hidup makmur, memiliki harta benda yang cukup untuk hidup enak di dunia ini ?
Pertanyaan dan kegelisahan tukang minyak itu dijawab dengan sangat jelas oleh Ibnu Hajar: “seenak-enaknya hidupku di dunia ini, tetaplah menjadi penjara bagiku, apabila dibandingkan dengan kenikmatan yang disediakan oleh Allah untuk orang-orang beriman di akhirat kelak, sebabnya adalah karena kenikmatan dunia sama sekali tidak sebanding dengan kenikmatan akhirat. Kata Rasulullah: “Sungguh, tempat cemeti di surga itu lebih baik dan indah dibandingkan dengan dunia dan isinya”. Sementara kamu, wahai Yahudi ! (lanjut Ibnu Hajar), “sesengsara-sengsaranya hidupmu di dunia ini, itu sudah layaknya surga jika dibandingkan dengan beratnya siksaan Allah yang telah dijanjikan untukmu nanti jika kamu mati dalam keadaan kafir”.
Ma’asyir al-Muslimin !
Mendengar jawaban dan penjelasan Ibnu Hajar al-Asqalani, tukang minyak samin yang kafir itu merinding (sangking takutnya), ia bergumam di dalam hati:”jika surgaku saja sudah seperti ini, terus seperti apa nerakaku di akherat nanti“. Akhirnya ia melakukan ikrar syahadat; ”Asyhadu an la ilaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad ar-Rasul Allah” , ia masuk Islam dengan penuh ketulusan.
Jadi, makna penjara bagi kaum beriman ketika hidup di dunia – ”ad-dunya sjn al-mukmin”- adalah karena mukmin terhalang untuk melampiaskan nafsunya, melampiaskan syahwatnya di tempat-tempat yang diharamkan Allah SWT. Disamping itu, orang-orang beriman, juga dibebani untuk menunaikan ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT. Jelas, orang-orang yang ingkar, akan memandang dan merasakan bahwa pengekangan nafsu dan pembebanan ketaatan yang diperuntukkan bagi kaum beriman itu, akan menjadi sebuah kesengsaraan dan penderitaan, atau bahkan penyiksaan. Tetapi tidak demikian apa yang dirasakan kaum beriman, justru didalam pengendalian nafsu dan syahwat dan ketundukannya kepada Allah itulah, kelezatan hidup menyertai kaum beriman. Betapa tidak, orang-orang beriman itu telah mampu menempatkan diri dan hidupnya di dalam kerangka fitrahnya sebagai manusia yang suci dan taat kepada Sang Rabb semesta ini. Dan harapan keberuntungan abadi akan menjemputnya, setelah ia kembali kepada Allah SWT.; segala ketaatan yang telah dilakukan kaum beriman di alam dunia, akan diganti oleh-Nya dengan kenikmatan yang kekal, kebahagiaan yang tiada habis;
Ma’asyir al-Muslimin !
Yang perlu kita pahami dengan sebaik-baiknya adalah, bahwa ketika kaum beriman tidak bebas melakukan perbuatan sesuka hatinya; menurut keinginan nafsu dan syahwat liarnya, bukan berarti hatinya terbebani, menderita dan tersiksa. Tak ada kebahagiaan melebihi apa yang dirasakan kaum beriman. Begitu nikmat rasanya, saat kita tengah bermunajat, berdialog dengan Allah SWT di dalam shalat, di keheningan tahajjud, di dalam lantunan suci zikr Allah, kebahagiaan yang menyebar di setiap amal shalih yang dilakukannya.
Itulah sebabnya, saat Allahu Yarham Ibnu Taimiyah dijeblosaken ke dalam penjara oleh pemerintahan kafir, dengan penuh suka cita, beliau menyatakan: “Apa yang dilakukan oleh para kafir kepadaku, yang mereka kira siksa untukku, malah menjadi surga bagiku. Jika aku dipenjara, bagiku itu menjadi sarana untuk berkhalwah (kesempatan untuk mendekat dan lebih dekat kepada Allah, dengan tidak lagi terganggu oleh kesibukan dan keramaian), kalau aku di usir, itu berarti tamasya di surga-Nya, dan ketika aku dibunuh, berarti itu syahid bagiku.”
Ma’asyir al-Muslimin !
Logika dari pernyataan Ibnu Taimiyyah, sangat bisa dimaklumi, ketika kita pakai dalam perspektif keimanan, sebab, sekali lagi, kenikmatan yang hakiki sebenarnya bertempat di dalam hati, dan sangat beda dengan kenikmatan atau kesenangan yang sifatnya nisbi (tidak kekal, berlaku sesaat), seperti; lezatnya makanan, nikmatnya berzina, segarnya khamr, dimana kalau itu sudah berlalu, sudah sama sekali tidak bisa dirasakan kelezatan dan kebahagiaannya.
Sementara, nikmat hati yang dirasakan kaum beriman, akan dirasakan terus-menerus tiada batas, baik ketika sesuatu itu masih di niatkan, kemudiaan akan semakin kuat saat sesuatu yang diniatkan itu dilakukan, dan akan semakin dahsyat saat perasaan bahagia itu terukir dan memberikan pengaruhnya ke dalam seluruh hidup dan kehidupannya. Itulah yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah; “Di dunia ini ada surga, siapa yang tidak bisa masuk ke dalam surga itu, maka ia takkan pernah bisa masuk ke dalam surga yang kedua (surga Allah di akhirat).”
Itulah nikmat dunia yang diperuntukkan bagi kaum taat, sebelum mereka menerima kenikmatan akhirat; kenikmatan tiada tara, kenikmatan yang tak pernah terbayangkan disebabkan bobot nikmatnya yang serba luar biasa; diluar akal dan apapun yang ditemui oleh manusia selama kehidupan di dunia; sementara di dalam kenikmatan tiada di surga Allah ini akan terjadi dan dirasakan kaum beriman, kaum taat, dengan tanpa batasan waktu; kekal abadi di dalamnya; “khalidan, khalidan fiha.”
Ma’asyir al-Muslimin !
Jika sekiranya ada orang yang mengira bahwa di dalam kehidupan yang bebas, kehidupan berfoya-foya, kehidupan yang melanggar aturan Allah, aturan agama Islam; itu penuh kenikmatan ; pastilah pandangan ini sangat keliru, salah total !
Siapapun yang mencintai sesuatu selain Allah, berbuat sesuatu bukan karena Allah, mencari kenikmatan di jalan selain jalan Allah, sebenarnya yang terjadi adalah: mereka tersiksa dengan semua yang dilakukannya itu; ia tersiksa di kehidupan dunia ini; hatinya tiada henti merasa gelisah, cemas, sebelum dirinya mendapat siksaan yang lebih mengerikan di alam barzakh dan terlebih di alam akhirat kelak.
Ma’asyir al-Muslimin !
Jangan sampai kita tertipu oleh penampilan orang, jangan sampai terkecoh dengan gaya hidup seseorang, yang sebenarnya secara batini sangat berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi. Jangan sampai kita terkecoh oleh gelak tawa dan kehidupan bebas para ingkar di dalam melampiaskan nafsu dan syahwatnya. Karena yang terjadi sebenarnya, para jago maksiat itu, tengah berada di dalam perjuangan yang penuh dengan siksaan dan penderitaan batin. Mereka tengah menghadapi dan mengalami siksaan Allah 3 lapis yang bertubi-tubi menghampiri dan menimpanya; semakin waktu semakin siksaan itu terasa menyakitkan dan mengerikan:
(1)saat para ingkar itu tengah berjuang mencari kenikmatan hingga ia berhasil menemukan apa yang mereka cari, maka saat itu juga sebenarnya mereka merasakan hatinya remuk, menahan tekanan batin yang menyesakkan dada. Betapa tidak, begitu ia temukan satu keingkaran, saat itu juga noda hitam telah terukir di hatinya “al-itsm ma haka fi shadrik”- “dosa (kata Rasulullah) adalah sesuatu yang menyebabkan dadamu (hatimu) menjadi cemas, menjadi tertekan.”
(2)Para pezina, para pemabuk, para pencuri, dan para penentang kethaatan kepada Allah, sebenarnya tidak lain adalah orang-orang yang kebingungan mencari kenikmatan, dan bukan orang-orang yang bisa merasakan kenikmatan. Jadi, dengan demikian, bisa dipahami, bahwa, kalaulah Allah membiarkan para duraka itu berhasil mendapatkan kenikmatan yang mereka buru, maka bersamaan itu pula, dalam hitungan detik, keberhasilan itu akan berubah menjadi perasaan cemas dan takut; kecemasan dan ketakutan yang sangat hebat. Para ingkar itu mengalami tekanan batin yang sangat hebat, yang disebut “hamm”- sebuah perasaan ketakutan yang berlebihan, akan kehilangan kenikmatan sesaat itu, dan yang jelas, mereka akan merasakan ketakutan tiada terperi akan memetik aksi ingkarnya dihadapan Allah SWT di yaum al-akhirat.
(3)Para duraka itu akan mengalami apa yang disebut “huzn” – “kesedihan” yang tiada batas akhirnya; sedih karena kehilangan kenikmatan, dan itu pasti terjadi karena sebab yang sangat pasti; kemungkinan (1) kenikmatan itu akan hilang karena direbut oleh orang lain, dan kemungkinan (2) yang jelas kenikmatan itu akan hilang karena ditelan oleh kematian yang menjemputnya. Padahal, tiada kesedihan paling mengerikan, kecuali menghadapi pedihnya neraka jahim di akhirat. “naudzu billah min ndzalik.”
Ma’asyir al-Muslimin !
Mudah-mudahan kita dijauhkan dari hati yang ingkar kepada Allah SWT., dalam bentuk apapun dan sekecil apapun. Mari kita senantiasa memohon kepada Allah SWT (bersamaan dengan ketaatan yang kita jaga), mudah-mudahan Allah SWT senantiasa memberikan hidayah-Nya kepada kita; sehingga ketaatan kita kepada-Nya akan berbuah manis; kita memperoleh surga-Nya baik di dunia, di alam barzakh, dan terutama alam akhirat nanti; “rabbana atina fi al-dunya hasanah wa fi alakhirat hasanat wa qina ‘adzabg an-nar.”
Barak Allah ly wa alkum fi al-Qur’an al-‘Adhim wa nafa’any wa iyyakum bima fih min al-ayat wa adz-dzikr al-hakim wa taqabbal minny wa minkum tilawatah innahu huw as-Sami’ al’Alim. Wa qul Rabby ighfir wa arham wa anta khair ar-rahimin.
Baca Selengkapnya ...

2 komentar:

ANNAS mengatakan... @ 26 Juni 2012 pukul 03.06

Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

Subakti mengatakan... @ 17 Januari 2024 pukul 16.25

Ibnu Hajar Al Asqolani genearsi muakhirin beliau hidup abad ke 7/8 H jauh stelah Rasululah wafat, kok bisa-bisanya seorang Yahudi setelah melihat Rasulullah dia menanyakan kepada Ibnu Hajar yang hidupnya tidak sejaman dengan RAsulullah:D

Posting Komentar