Membangun Kreasi Seni Reyog Ponorogo
Published by ridokurnianto under Budaya on 23.15
Sejak pusat-pusat kebudayaan tradisional terpukul oleh perubahan kekuasaan dan patronnya oleh perubahan soaial dan ekonomi, maka sejak itu pula mengalami perubahan-perubahan paradigmatik. Dualisme budaya (kraton dan rakyat; budaya kota dan budaya desa) mulai mengabur, sekalipun keluarga kraton tetap menjadi narasumber dari kebudayaan tradisional. Jika ada perbedaan antara budaya desa dan kota dalam kebudayaan tradisional, sifatnya bukan lagi kategoris tetapi perbedaan kuantitatif biasa. Dan akhirnya dalam situasi seperti ini, kebudayaan tradisional, seperti dikatakan Kuntowijoyo (1999:29), menjadi sebuah sistem yang terbuka.
Dalam perspektif ini, budaya tradisional tidak lagi menjadi lambang status sosial, siapa saja yang mampu mengangkat dirinya secara ekonomis, sosial, dan intelektual, dapat menjadi bagian dari budaya tinggi. Lebih jauh, situasi keterbukaan itu melahirkan pola baru dalam profesionalisme kesenian tradisional. Pola pendidikan magang dalam pewarisan artistik digantikan oleh lembaga-lembaga pendidikan kesenian. Formalisme budaya kraton yang lama digantikan oleh formalisme plural dari lembaga-lembaga pendidikan kesenian. Dan penting untuk dicatat, bahwa dalam situasi seperti ini, lahir pula gejala baru yang disebut dengan "selera publik" yang sering mempunyai konotasi negatif. Selera publik , tulis Kuntowijoyo (1999:29) menjadi penyebab dekadensi, vulgarisasi, dan pencemaran budaya.
Nampaknya gejala formalisasi dan deformalisasi merupakan perkembangan yang dialektis dari suatu kebudayaan. Dalam perspektif seni Reyog Ponorogo, formalisasi bisa berupa pembakuan seni Reyog dalam kitab Pakem, dimana seluruh kreasi seni berikut hal-hal yang berhubungan dengan Reyog harus berpedoman pada pakem tersebut. Sedangkan deformalisasi berupa upaya-upaya untuk mengubah, memodifikasi, atau bahkan mengganti pakem tersebut.
Selera publik merupakan satu diantara pertimbangan bagi upaya pengubahan pakem, dimana faktor ini sering menyebabkan formalisme menjadi luntur, seperti lunturnya pakem pedalangan oleh munculnya cerita-cerita baru. Oleh karena itu, sebuah kebijaksanaan kebudayaan, terutama terkait dengan pengembangan kreasi seni Reyog ini ialah agar setiap upaya pengubahan, penyesuaian, ataupun penggantian itu justru menjadi dasar bagi tumbuhnya kreatifitas baru, sehingga akan mengantar seni adiluhung ini semakin kaloko, kawentar (dikenal dan digandrungi masyarakat luas), dan bukan untuk tujuan anarkhisme (pengembangan yang "ngawur") hingga membuat seni Reyog tidak memiliki makna apapun. Baca Selengkapnya ...
Dalam perspektif ini, budaya tradisional tidak lagi menjadi lambang status sosial, siapa saja yang mampu mengangkat dirinya secara ekonomis, sosial, dan intelektual, dapat menjadi bagian dari budaya tinggi. Lebih jauh, situasi keterbukaan itu melahirkan pola baru dalam profesionalisme kesenian tradisional. Pola pendidikan magang dalam pewarisan artistik digantikan oleh lembaga-lembaga pendidikan kesenian. Formalisme budaya kraton yang lama digantikan oleh formalisme plural dari lembaga-lembaga pendidikan kesenian. Dan penting untuk dicatat, bahwa dalam situasi seperti ini, lahir pula gejala baru yang disebut dengan "selera publik" yang sering mempunyai konotasi negatif. Selera publik , tulis Kuntowijoyo (1999:29) menjadi penyebab dekadensi, vulgarisasi, dan pencemaran budaya.
Nampaknya gejala formalisasi dan deformalisasi merupakan perkembangan yang dialektis dari suatu kebudayaan. Dalam perspektif seni Reyog Ponorogo, formalisasi bisa berupa pembakuan seni Reyog dalam kitab Pakem, dimana seluruh kreasi seni berikut hal-hal yang berhubungan dengan Reyog harus berpedoman pada pakem tersebut. Sedangkan deformalisasi berupa upaya-upaya untuk mengubah, memodifikasi, atau bahkan mengganti pakem tersebut.
Selera publik merupakan satu diantara pertimbangan bagi upaya pengubahan pakem, dimana faktor ini sering menyebabkan formalisme menjadi luntur, seperti lunturnya pakem pedalangan oleh munculnya cerita-cerita baru. Oleh karena itu, sebuah kebijaksanaan kebudayaan, terutama terkait dengan pengembangan kreasi seni Reyog ini ialah agar setiap upaya pengubahan, penyesuaian, ataupun penggantian itu justru menjadi dasar bagi tumbuhnya kreatifitas baru, sehingga akan mengantar seni adiluhung ini semakin kaloko, kawentar (dikenal dan digandrungi masyarakat luas), dan bukan untuk tujuan anarkhisme (pengembangan yang "ngawur") hingga membuat seni Reyog tidak memiliki makna apapun. Baca Selengkapnya ...
0 komentar:
Posting Komentar